11| Trojan lain.

119 23 15
                                    

Rasanya baru kemarin sore, Jiyan yakin bahwa Mars masih menaruh perhatian terhadap dirinya. Baru kemarin sore pula, masalahnya terasa bebas. Tapi hari ini, Jiyan merasa masalah barunya seperti akan sama saja parahnya seperti sebelumnya.

Setelah pagi tadi, dengan masih saling diam. Mars mengantar kesekolah tanpa ada sepatah kata yang terucap. Pun dengan Jiyan yang tak bisa berbuat banyak. Bahkan dia melewatkan sarapan untuk menghindar berhadapan dengan Mars dalam waktu yang lama, lebih dari itu sebenarnya Jiyan seperti kehilangan nafsu makan, membuat Jiyan abai akan perutnya yang berteriak minta diisi.

Meskipun Saka tadi sempat membujuknya untuk kekantin, tapi dengan sopan Jiyan menolak. Sejak dia disalah pahami oleh Mars terkait keakrabannya dengan Saka, membuat Jiyan akhirnya menarik diri sementara waktu.

Semuanya masalah yang berkaitan dengan Mars terasa lebih kompleks ketika harus dijalani.

Turun dari boncengan siswa kelas dua belas, yang Jiyan kenal lewat Saka, kini kaki Jiyan berhasil menapak di jalanan depan rumah.

Untungnya, tadi setelah hampir satu jam Jiyan menunggu kedatangan Mars untuk menjemput, siswa berambut ikal didepannya ini datang. Dia baru saja selesai dari ekstrakurikuler futsalnya. Jadi, Jiyan bisa pulang lebih cepat daripada harus menunggu taksi, setelah Mars mengatakan bahwa dia ada rapat BEM di kampusnya.

Jiyan turun dengan pelan, tapi langkahnya kala itu seperti agak meleng. Jalanan yang dia pijak seolah bergoyang sesaat hingga membuat Jiyan hampir kehilangan keseimbangan, kepalanya terasa berputar sekilas. Hal itu membuat teman Saka itu kaget.

"Eh? Kenapa Ji?" Tanya lelaki itu.

Jiyan lantas menegakkan badannya, mengumbar senyum. Dan memutar badan, menunjukkan jempol tangannya.

"Nggak apa-apa, Bang Ilham. Gue oke. Cuma tadi meleng sedikit,"bohong Jiyan, sebab dia tidak ingin membuat siswa yang dia sebut Ilham itu khawatir.

"Serius? Lo keliatan pucet, btw," tanya Ilham lagi, dia agak ragu sepertinya dengan jawaban Jiyan.

Dengan melepaskan helmnya, Jiyan sempat mengangguk mengiyakan.

"Gue nggak apa-apa, Bang. Btw, thanks ya udah antar gue pulang, kalau nggak ada lo, gue nggak tau deh harus sampe kapan nunggu disana?"

"Iya sama-sama. Lagi lo nunggu siapa sih? Sampe sore gitu, kenapa juga nggak bareng Saka?"

"Tadi sempat ditawari Bang Saka, tapi Abang kandung gue bilang bisa jemput gue tadi pagi. Makanya gue nunggu, tapi malah tadi bilang ada rapat BEM, jadi nggak bisa jemput dulu. Padahal gue udah nunggu, tuh! " Jelas Jiyan, diakhiri kekehan seolah dia tak merasa kesal dengan ke sia-siaan yang telah dia lakukan.

Padahal, dalam hatinya kecewa itu pasti. Sungguh Jiyan pun tahu, bahwa menunggu itu hal yang paling menyebalkan di dunia ini. Ditambah lagi, malah segampang itu Mars membatalkan janji untuk menjemputnya.

Ilham mengangguk mengerti, lalu dia menerima helm yang Jiyan kembalikan. Kemudian dia kembali mengenakan helmnya.

"Ya udah, gue pulang duluan, ya?"

"Nggak mau mampir dulu? Sekali-kali main dirumah gue, Bang! Jangan kerumah Bang Saka terus! Iri nih gue!" Canda Jiyan.

Ilham tersenyum sesaat, lantas dia menghidupkan kembali mesin motornya.

"Next time, gue ada acara keluarga juga nih sehabis ini, dirumah."

Jiyan mengangguk, "Oh, oke deh! Thanks ya, Bang!"

"Oke, gue duluan!" pamit Ilham.

Jiyan menatap halaman depan rumahnya, yang tampak sepi. Kali ini dia dipertemukan dengan tamparan kenyataan bahwa hangat damai rumahnya sudah lama menghilang. Bersama kepergian Ayah, dan beberapa kenangan buruk yang menyelimuti.

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now