10|Cincin tak nyata

135 22 29
                                    

Udara diluar masih cukup dingin, embun pun masih menempel didaunan. Tapi udara diruang makan justru terasa begitu pengap tak nyaman. Jiyan yang baru saja datang dari bersiap ke sekolah, bahkan baru berhasil menelan dua sendok nasi dihadapan. Tapi, Mars sudah bersiap-siap hendak pergi ke kampus, seolah menghindar.

Safira paham permasalahan kemarin belum juga kelar, meskipun sudah memperingati kedua putranya untuk bersikap normal. Nyatanya sampai dua hari setelah itu pun, keadaan masih sama.

Jiyan yang masih begitu segan untuk mendekati Mars, dan Mars yang masih terlihat enggan untuk berinteraksi dengan adiknya.

Safira menarik nafas dalam-dalam, menjatuhkan sendoknya seketika itu.

"Jangan pergi dulu, Bang!"titah Safira.

Lantas Mars menghentikan segala aktifitasnya, menatap Safira penuh tuntutan akan penjelasan.

"Hari ini, Bunda mungkin akan pulang siang. Semalam, Bunda dapat notifikasi dari grup dosen di kampus. Bunda dan dua dosen lain akan pergi ke luar kota untuk seminar beberapa hari. Jadi, nanti siang Bunda akan berkemas. Bunda harap kalian bisa saling jaga pas Bunda pergi,"

Mars dan Jiyan melotot mendengar semuanya. Ini semua terlalu mendadak. Untuk mereka berdua yang saling menutup diri, ini terlalu merepotkan.

"Bunda kenapa baru bilang?" Tanya Jiyan dengan sedikit tak terima.

"Karena semalam baru keputusan final, kampus mau mengirim siapa. Dan Bunda terpilih untuk ikut seminar sebagai pembicara di beberapa kampus cabang."

Kendati masih sama terkejutnya, tapi Mars berusaha keras untuk tetap tenang. Tidak mau seperti Jiyan yang menurutnya agak berlebihan dalam berekspresi. Dia segera menyangklongkan tas ransel kepundak dan berpamitan.

"Okay. Ya udah, aku berangkat Bun,"

"Jangan lupa, jemput adek nanti sore!" Tukas Bunda pelan tapi penuh penekanan.

Mendengar itu, Mars berhenti lagi dari langkahnya yang baru beberapa meter. Lantas dia menoleh menatap Jiyan sekilas dan beralih pada Bunda setelahnya.

"Kenapa? Toh dia udah bisa pulang sendiri sekarang. Biasanya juga naik taksi. Atau bareng Saka," sarkas Mars.

Jiyan menunduk tak berani berkata, sungguh dia masih terus ingat teguran Bunda beberapa hari lalu, ditambah lagi, pasti Abangnya akan semakin benci saat dia mengutarakan isi kepalanya.

"Bunda nggak mau tahu, Bang. Jemput adek kayak biasanya. Dan bunda minta jangan sering-sering bentak adek pas Bunda nggak dirumah. Adek juga harus nurut sama Abang!"

Menurut?

Memang selama ini Jiyan kurang patuh seperti apa pada Mars? Bunda mungkin lupa bagaimana Jiyan bahkan takut untuk sekedar membantah Abangnya. Hanya sekali Jiyan mengutarakan perasaannya terang-terangan didepan Bunda, kemarin saat kesal. Tapi hal itu bahkan membuat dia mendapatkan penilaian seperti itu dari Bunda. Seolah dia telah berulang kali melakukannya.

"Bunda kalau keseringan belain dia kayak gitu, makin besar kepala dia! Makin seenaknya sendiri, dan makin ceroboh kedepannya!" Ketus Mars.

Belum selesai sesak Jiyan rasakan menerima semua, tapi tiba-tiba ada serangan lain yang menghantamnya berasal dari Mars baru saja.

"Bunda nggak bermaksud belain salah satu dari kalian. Bunda cuma nggak pengen kamu lepas kendali! Disini Bunda juga udah peringati Jiyan, kan?"

"Iya, tapi-"

"Udah, Bunda minta kalian cuma saling jaga beberapa hari kedepan. Nggak lama. Masalah beberes rumah, kalian harus saling bantu. Masalah makan kalian bisa pesan, asal jangan sering makan mie instan! Apalagi Jiyan! Ingat ya, Ji, Bunda nggak suka kamu keseringan makan mie instan! Pokoknya Abang harus lapor terus tentang kondisi kalian. Jadi, kalo Jiyan nggak nurut, Bunda nggak segan untuk tegur kamu!"

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now