13| Phobos

114 22 7
                                    

Setelah kejadian yang membuat perasaan kebahagiaan dihati Jiyan hidup dengan terang, saat Mars benar-benar datang ke sekolah untuk mengantarkan makan siang.

Jiyan berpikir mungkin menjadikan itu sebagai hal yang paling membahagiakan dihidupnya setelah hari-hari bahagia lain yang telah lama terlewati, yang dulu diisi oleh Ayah, Bunda dan Abang nya juga.

Tapi nyatanya sejak siang itu semuanya tetap sama. Tidak ada yang berubah. Beberapa upaya Jiyan yang mencari peluang untuk bisa mendekat mengakrabkan diri, pupus kala seperti biasa, keiritan bicara dan sifat kakunya Mars membuat langkah Jiyan musnah.

Karena tak ada Bunda, dua hari kebelakang hidup Jiyan jadi bertambah sepi. Bahkan hanya sekali dia sempat bersua lewat Video Call dengan Bunda, kemarin malam. Pun yang didapatkan Jiyan dari Bunda alih-alih ungkapan rindu, malah peringatan-peringatan yang pernah Bunda ucap sebelum pergi.

Sekitar pukul empat sore, saat Jiyan sedang merebahkan diri didepan televisi yang menyala, tiba-tiba Mars keluar kamar dengan pakaian yang stylish sekali.

Jiyan langsung menegakkan badannya, menatap Mars yang datang mendekati.

"Abang mau kemana? Mau cari makan malam?"

"Gue mau jemput Bunda ke Bandara, lo mau ikut?"

"Oh iya!" Jiyan menepuk dahinya, dia lupa rupanya, "mau, tapi gue ganti baju dulu boleh?"

Mars berdecak malas.

"Lo kalo siap-siap tuh lama, Ji! Gue buru-buru. Lo dirumah aja ya?"

Tak membantah, Jiyan bisa melihat ekspresi panik Mars beberapa sekon lalu, Jiyan tak mau membuat Mars terkena masalah karena dimarahi Bunda, akhirnya iya mengangguk menerimanya.

Kemudian Mars, berlari menuju garasi. Dengan menggenggam kunci mobil yang Bunda titipkan. Dia meninggalkan Jiyan yang dia pupuskan keinginannya.

Dari awal juga sebenarnya salah Jiyan sendiri. Kalau dia ingat kemarin malam Bunda bilang bahwa dia akan pulang sore ini, pastilah Jiyan akan bersiap dari tadi. Hingga tak tertinggal momen menjemput Bunda di Bandara. Tapi bubur sudah menjadi nasi, Jiyan tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima dengan berat hati.

Dia akhirnya hanya bisa menyaksikan Mars berlalu pergi, dari jendela depan. Dia menarik nafasnya panjang dengan pasrah yang tidak bisa dia hindari. Lalu langkah lunglainya dia bawa kembali keruang tengah, dimana TV-nya masih menyala. Tidak ada hal dia lakukan lagi selain menikmati menyaksikan acara televisi yang sebenarnya sudah sangat membosankan sekali. Dia hanya berharap Bunda dan Mars segera kembali. Membantu Jiyan mengusir jengah dan sepi.

★★★★

Karena terlelap di sofa ruang tengah, Jiyan sampai tak menyadari bahwa gelap sudah datang dari tadi. Dia tersadar kala suara televisi yang sedang menampilkan acara berita tentang masalah pencemaran lingkungan di kota ini sayup-sayup menarik kesadarannya kembali. Dia melirik kearah sofa tunggal yang tidak dia sangka, tumben sekali Mars sudah disana dengan Snack yang sedang dia nikmati.


Jiyan melenguh, menggeliatkan tubuhnya. Melebarkan pandangan, setelah mengucek matanya sesaat.

"Lo ngapain disitu?"tanya Jiyan dengan suara seraknya.

Merasa tidak ada orang lain lagi, Mars menoleh.

"Karena lo kuasain semua sofa panjangnya buat seenaknya tidur. Jadi gue disini,"

Terbukti, Jiyan dan Mars itu memang tidak sealiran dalam hal berbicara. Akan ada saja yang salah dipahami, di setiap konversasi. Akhirnya Jiyan memperinci pertanyaan.

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now