17| Mars

192 23 17
                                    


Suara saling teriak, saling bentak dan aksi saling dorong tadi masih teringat. Saat tembakan gas air mata membumbung ke arah para pendemo, dan hantaman-hantaman keras yang terjadi disana, kala beberapa orang berpakaian gagah beradu emosi dengan warga. Kabut yang memedihkan mata dan asap yang mengepul dari pembakaran barang-barang sebagai bentuk pelampiasan kecewa. Semuanya masih terekam hangat di otaknya. Bahkan rasa pegal, perih dan sakit saat dia terjatuh untuk melindungi seorang anak yang malang terjebak dalam kerusuhan demo itu masih jelas dia rasa, meskipun telah terlelap cukup lama.

Tidak hanya merasakan tubuhnya yang remuk dipembaringan rumah sakit, dikamar rawat inapnya.  Tapi, Jiyan juga sakit dan amat merasa bersalah ketika terbangun mendapati Bunda yang sedang menjaganya dengan mata yang sembab.

Sejak dari awal dia membuka mata, Bunda tidak banyak bicara. Rasa bersalah itu, kian muncul kala dinginnya sikap Bunda bisa Jiyan rasakan begitu menusuk perasaannya. Bahkan Bunda masih sibuk dengan laptopnya setelah beberapa menit lalu menyuapi Jiyan makan siangnya. Bunda terlihat benar-benar kaku tanpa senyum, dia seperti tidak terlalu memperhatikan  Jiyan  yang terjaga dan hanya mampu terdiam saja.

Sungguh, Jiyan tidak tahan dengan kondisi ini. Cukup Mars saja yang bersikap seperti itu, kalau bisa Bunda jangan.

"Bun,..." Panggil Jiyan dengan suara seraknya.

"Hmmm..."

"Maaf," Jiyan sama sekali tidak berani menatap Bunda.

Jiyan takut, dia benar-benar merasa bersalah karena membuat Bunda begitu khawatir.

"Untuk apa?"

"Buat semuanya. Aku tahu kali ini aku udah bikin Bunda kecewa, dan khawatir," ujar Jiyan dengan suara yang bergetar.

Meskipun demikian, sebenarnya Jiyan tidak benar-benar menyesali keputusannya. Mungkin terdengar salah, tapi untuk menjaga hubungan persahabatan diantara dia dan Ilham, yang bagi Jiyan juga berharga, Jiyan menganggap ini adalah resiko yang harus dihadapinya. Yang dia sesali disini adalah ketidakmampuannya untuk mempertahankan diri, dan menjaga janji bahwa dia akan selalu berusaha baik-baik saja dan pulang tanpa membuat Bunda khawatir.

Dan itu yang membuat Jiyan tidak bisa menahan air matanya. Sungguh saat Jiyan mengatakan maafnya, udara disekitar ruangan itu seperti ikut hilang bersama senyum Bunda.

Bunda tak menjawab, membiarkan detik jam dinding mengisi kekosongan waktu diantara mereka. Jiyan pikir, Bunda masih sangat kecewa hingga tak mau merespon permintaan maafnya.

Dia memainkan kuku jarinya. Tak berani menatap Bunda yang masih terdiam tak bersuara.

Tapi, lantas hal yang Jiyan tak duga terjadi. Pikiran Jiyan salah sepenuhnya. Bunda datang dan memeluk Jiyan. Tubuhnya bergetar diiringi isak memeluk tubuh Jiyan.

"Bunda takut kehilangan kamu, Dek. Lain kali, seberapa penting urusan itu, tolong jangan pernah bahayakan keselamatan kamu. Karena Bunda selalu nunggu kamu pulang sekolah, dan nunggu waktu biar kita bisa kumpul dan bahagia kayak dulu, lagi."

Mata Jiyan kembali menjatuhkan airnya, mendengar perkataan Bunda yang terdengar begitu mencubit perasaannya.

"Sekali lagi di dunia ini ngga ada yang paling berharga buat Jiyan selain Bunda, Ayah dan Abang. Aku cuma ingin bantu kemarin, Bun. Jiyan juga nggak sangka kalau bakal berakhir disini," ujar Jiyan pelan di pelukan Bunda-nya.

Lantas Bunda melepaskan pelukannya, menatap manik Jiyan dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Makanya itu, kamu nggak boleh gegabah. Kalau bunda seberharga itu buat kamu, tolong ingat Bunda dalam setiap keputusan yang kamu ambil. Bunda udah hampir kehilangan kamu dulu, Bunda nggak pingin  hal semacam itu kejadian lagi, please untuk hal ini kamu ngerti perasaan Bunda," pinta Bunda.

My Mars and My Universe [Slow Update]Where stories live. Discover now