07| Nebula

102 22 22
                                    

Beberapa pagi ini, rumah menjadi lebih sunyi dari biasanya. Keadaan ruang makan, juga terasa jadi lebih dingin dari pada udara diluar ruangan. Setelah keributan dua malam lalu, semuanya itu berlaku. Ribut Jiyan tidak terdengar lagi, sikap Mars yang acuh tak acuh pun semakin menjadi.

Jiyan yang selalu menghindar dari temu titik dengan Mars. Mulai dari memilih untuk berangkat sekolah dengan Safira, sejak saat itu sampai seterusnya, hingga memutuskan untuk pulang dengan taksi dari pada menunggu Abangnya sendiri. Dan Mars pun tak keberatan sama sekali dengan hal itu, dia nampak begitu tenang saja.

Jarang berbincang dengan Mars itu lumrah bagi Jiyan. Tapi, dengan masalah kemarin akan beda situasi dan kondisi.

Dan Safira,  tidak bisa lagi menahan semua ini. Sebagai seorang ibu, perasaannya ikut tak nyaman melihat keadaan kedua putranya yang saling berperang dingin begini.

Tangannya menaruh nasi ke piring kedua putranya dengan hati-hati. Dengan itu, dia mengambil kesempatan untuk membuka suara memecah hening.

"Dek? Bang?"

Panggilan itu berhasil menarik perhatian kedua putranya yang awalnya sibuk dengan ponselnya sendiri-sendiri.

"Kenapa, Bun?" Jawab sang Bungsu.

Sementara si sulung bersikukuh mengunci mulutnya rapat-rapat, kendati demikian matanya ikut menatap Safira seolah menuntut jawaban atas panggilan yang Safira ajukan.

Dengan menarik nafas panjang, Safira kembali mengudarakan tanya dengan kesabaran ekstra.

"Kalian mau sampai kapan begini terus?"

Nyatanya, setelah mulut Safira tertutup rapat ketika tanya itu berhasil dia lontarkan, tidak ada satupun diantara keduanya mau untuk menjawab. Baik Jiyan dan Mars, mereka sama-sama memaku tubuh ditempatnya. Hingga akhirnya Mars memilih lebih dulu bergerak, tangannya menaruh ponselnya ke saku celana. Dia menarik nafasnya dalam-dalam.

Karena jujur saja, tanya Bunda seperti berhasil mengusir lapar yang sempat mendera pagi tadi. Tanya itu begitu ampuh membuat mood Mars hancur kali ini.

Lalu Mars memilih mengalihkan pembicaraan dan pandangan. Sesaat dia menatap jam yang melingkar ditangan. Gesit dia menyambar jaket di sandaran kursi. Lalu menyangklongkan tas yang dia taruh dibawah meja  di samping kaki.

"Kayaknya udah telat, aku berangkat, Bun. Aku ada evaluasi hari ini. Aku nggak bisa antar dia. Aku berangkat, Bunda," pamit Mars selanjutnya, mencoba menghindari.

Dengan begitu dia berharap dia tidak diharuskan untuk membahas hal yang begitu malas dia ungkit dan bicarakan lagi. Terlebih masih ada Jiyan disana.

Tapi bahkan belum selangkah dia melenggang, Bunda sudah terlebih dulu membuatnya kembali mematung.

"Menghindari bukan cara yang dewasa, Bang! Bunda nggak suka ini. Ayo selesaikan masalah kalian, sekarang!" tegas Bunda.

Ketegasan yang sudah Jiyan dan Mars anggap  layaknya ayah yang sedang mengarahkan tentang cara bersikap kepada mereka. Begitu cara Jiyan dan Mars biasanya menghormati Bundanya.

Merasa tertampar, Mars akhirnya berbalik badan. Menarik kursinya lagi. Mau menjadi anak pertama yang begitu tegas pun, Mars tetaplah anak. Ada kalanya ketegasan Bunda mengalahkan ego Mars disana. Akhirnya dia kembali duduk meskipun dengan ogah-ogahan.

"Coba bilang ke Bunda, apa masih gara-gara masalah kemarin malam?"

Mau tak mau, sarapan terpaksa tertunda beberapa waktu. Perkataan Safira membuat suasana sarapan menjadi tak nyaman kali ini.

Bukan hanya Safira dan Mars yang merasakannya. Tapi juga Jiyan, yang sejak awal dia hanya diam disana. Karena bicara pun, rasanya dia tak akan didengar, apalagi oleh Mars.

My Mars and My Universe [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang