09| Meteorite

112 22 20
                                    

Azzura langit diatas kota telah berganti dengan jingga dari senja. Kala gelap perlahan datang menenggelamkan terang. Jiyan melempar tasnya asal, lalu melepaskan satu persatu kancing seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya.

Sesaat dia memandang pantulannya di cermin. Sore ini dia berhasil mengelabuhi Saka terkait perasaan dan permasalahannya. Entah karena Saka yang benar-benar percaya, atau sekedar menghargai Jiyan untuk tetap menjaga rahasianya. Yang jelas, Saka tidak memaksa Jiyan untuk bercerita setelah Jiyan mengatakan baik-baik saja, saat perjalanan pulang tadi

Dan sekarang, dikamar ini, tidak ada siapa-siapa lagi selain dirinya sendiri. Waktu yang tepat untuk Jiyan melepas topengnya. Setelah sepanjang hari ini dia dipaksa ego untuk bersikap tenang, dan Jiyan nyatanya mampu seteguh itu dalam berpura-pura tak terjadi apa-apa.

Karena jujur saja, menceritakan tentang masalah Mars kali ini, bukanlah hal yang mudah dipahami. Seketika itu, ingatan Jiyan tentang Mars kembali. Semuanya tentang Abangnya itu merangsek memenuhi isi kepala. Terlebih lagi, tentang apa yang terjadi selepas sarapan pagi tadi.

"Semuanya akan baik-baik aja kalau dia mau nurut. Kalau dia mau dengerin aku. Dia harusnya sadar setelah kejadian itu, dia harus berhati-hati lagi. Bukan cuma buat keselamatan orang lain, tapi buat keselamatan dia sendiri. Aku cuma marah karena dia nggak bisa dikasih tau!" Begitu ucapan Mars terasa begitu menghakimi.

Melihat bagaimana Mars yang terlihat terus-terusan menyatakan bahwa kesalahan Jiyan yang telah merepotkan Juna hingga drop.

Padahal, kala itu penyebabnya juga Jiyan sedang sakit. Memang siapa yang mau sakit? Apa dengan begitu, terlihat kesengajaan yang Jiyan perbuat untuk menyakiti Juna?

Yang Jiyan lupa disini, menerima bantuan Juna sama saja menerima resiko besar yang menanti. Disini kecerobohan anak itu.

Selain itu terlintas pula Bunda yang menegaskan bahwa Jiyan tidak boleh melawan Mars. Seolah Jiyan tidak diizinkan untuk mengekspresikan emosinya.

"Ji, kamu dengar kan? Abang sebenarnya khawatir lho sama kamu. Jadi, jangan ikut-ikutan ngambek gara-gara Abang sempat marah, kamu kan tahu watak Abang yang keras,"

Meskipun terucap dengan begitu lembut dan halus. Tapi, Jiyan tetap merasa tidak nyaman dengan ucapan Bunda-nya kali ini.

Padahal Jiyan hanya ingin menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan penilaian Mars tentang apa yang telah terjadi. Dia sungguh tidak bersalah disini. Tapi kenapa seolah dia harus dipaksa bungkam dan menerima semuanya dengan dalih kebaikan untuk dirinya.

Mengerti, dan harus belajar mengerti terus, tanpa ada yang mau mencoba mengerti dirinya. Sungguh, Jiyan merasa begitu tak adil dengan semuanya.

Saat ini, Jiyan seperti benar-benar mengakui bahwa tak ada satupun yang memihak kepadanya.

Penuh. Pusing. Jiyan meraup wajahnya kasar. Menyisir rambutnya kebelakang dengan desah panjang. Ketika itu dia kembali melihat kembali pada bekas luka yang terlihat beberapa senti diperbatasan kulit wajah dan garis rambutnya, bekas luka itu memanjang menyusup kebelakang, beradu satu dengan bagian kulit kepala. Saat itu satu kenangan buruk itu kembali.

Awal dari segala perubahan, dan titik balik kehidupan menyenangkan Jiyan berubah menjadi abu-abu seperti ini.

★★★★★

9 tahun lalu

Saat itu, Jiyan sedang menginjak usia 7, dia  yang sedang antusias bersekolah dan bertemu teman-teman baru di kelas satu, tentu begitu bahagia. Meskipun dulu dia punya Juna sebagai teman semasa kecilnya, tapi memiliki teman yang sering bertemu di sekolah dan dalam jangka waktu lama tentu tidak kalah menyenangkan.

My Mars and My Universe [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang