2B

2.5K 557 31
                                    

Putri tersenyum dengan begitu lebar saat menatap donat buatannya yang sudah diberi berbagai macam toping. Namun senyumannya seketika pudar saat retina matanya menatap ke arah Kafka yang berdiri di ambang pintu dapur. Dengan tangan yang sedikit gemetar Putri memasukkan donat yang telah dia buat ke dalam kulkas.

Kafka memperhatikan apa yang Putri lakukan dengan pandangan dingin, "Berapa yang kau habiskan untuk membeli ini semua?" pertanyaan itu ia ajukan saat melihat isi kulkas yang penuh dengan bahan makanan. Semenjak menikahi Putri ia sama sekali belum pernah memberi Putri uang sepeser pun, karena memang ia berpikir Putri tidak akan membutuhkannya, semua keperluannya sudah dipenuhi oleh Kafka, melalui asisten pribadinya, tapi sekarang Putri malah memenuhi dapurnya dengan segala macam bahan makanan dan semua itu dibeli pasti dengan uang pribadi milik Putri, tentu hal itu membuat harga dirinya terusik.

"Enam ratus ribu, Mas," Putri menjawab dengan suara yang pelan, ketakutan terlihat jelas di wajahnya.

"Berapa nomer rekeningmu?"

Pertanyaan Kafka membuat Putri kebingungan tapi tanpa banyak bertanya Putri langsung memberitahu Kafka berapa nomer rekeningnya.

"Mau kemana?" Pertanyaan itu Kafka ajukan pada Putri yang hendak pergi meninggalkan dapur.

"Ke..ke kamar, Mas," lagi-lagi Putri menjawab dengan nada takut.

Kafka memperhatikan Putri dengan intens, sudah hampir sebulan ia menikahi Putri dan selama sebulan itu pula ia selalu melihat Putri mengenakan pakaian tertutup, gamis yang menyapu lantai dan kerudung yang menjuntai hingga ke lutut, namun kali ini penampilan Putri berbeda. Ia terlihat lebih fresh dengan   kaos gombrong berwarna tosca yang dipadukan dengan celana selutut berbahan katun warna hitam, kaki Putri jadi terlihat jenjang.

"Kemari," pinta Kafka.

Putri terdiam, tidak langsung menuruti keinginan Kafka, rasa takut semakin mencengkram hatinya. Entah kenapa seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa sakit.

"Apa kau mendengarku? Kemari!" Kafka mengulangi perintahnya dengan nada yang terdengar semakin dingin.

Perlahan Putri mulai melangkah ke arah Kafka, setiap langkah kakinya terasa begitu berat. Sungguh ia merasa begitu takut.

"Kau takut padaku?" Pertanyaan itu Kafka ajukan saat Putri sudah berdiri tepat di depannya.

Putri tidak menjawab pertanyaan Kafka, kepalanya menunduk dalam.

"Kalau kau takut padaku kenapa tadi kau berani masuk ke kamarku?" Tangan Kafka menyentuh dagu Putri, memaksa Putri untuk menengadahkan wajahnya.

"A..aku," Putri tergagap, "A..aku ta..tadi hendak meminta izin ke Mas untuk pergi...ke rumah ibu...tapi.."

"Tapi apa?" Tanya Kafka tidak sabar, ia muak mendengar Putri yang bicara gagap.

"Tapi aku melihat Mas sedang tidak enak badan..." Perkataan Putri seketika terhenti saat tiba-tiba Kafka memeluknya dengan sangat erat.

Kafka menatap Putri dengan tajam, hembusan napas Putri yang tak beraturan menerpa wajah Kafka.

"Jangan sekali-kali lagi masuk ke kamarku," ucap Kafka tajam, tangannya semakin erat memeluk Putri.

Putri mengangguk pelan, Kafka memeluknya terlalu kencang hingga membuat tubuh Putri terasa sakit.

"Malam ini kau harus menemaniku ke pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku," ucap Kafka sebelum akhirnya melepaskan pelukannya.

Putri mengangguk patuh, ini kali pertama Kafka mengajaknya ke sebuah pesta.

"Sebentar lagi Diana akan datang menjemputmu," Kafka menyebutkan nama sekretarisnya.

Bukan Pernikahan ImpianDove le storie prendono vita. Scoprilo ora