7B

3.8K 511 42
                                    

"Mas sudah jam tiga," Putri mengusap pipi Kafka lembut. Sudah hampir seminggu Kafka tak lagi bangun untuk melaksanakan salat malam, tak juga belajar membaca Al Quran bersama Putri, dan hampir selama seminggu itu juga Putri membiarkannya tapi mulai malam ini Putri bertekat pada dirinya untuk kembali membangun apa yang sudah terbangun, ia tidak akan membiarkan Kafka meninggalkan suatu kebiasaan baik yang sudah rutin ia kerjakan. "Mas." Putri kembali mengusap pipi Kafka.

Kafka menggeliat tak nyaman.

Sejenak Putri terdiam, tekadnya yang sudah dia pupuk sedari sebelum tidur sedikit menciut. Ia takut Kafka marah, tapi ia buang jauh-jauh rasa takutnya. Ia kembali mengusap pipi Kafka. "Ayo Mas bangun Allah merindukan salat malammu." Ucap Putri lembut.

Kafka kembali menggeliat sebelum akhirnya membuka matanya, tanpa mengucapkan apa-apa pada Putri yang telah membangunkannya Kafka beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan berwudhu. Saat keluar dari kamar mandi Putri sudah menyiapkan pakaian yang akan Kafka gunakan untuk salat dan sajadahpun telah digelar.

Dalam keheningan malam keduannya mendirikan salat tahajud dua rakaat dan witir tiga rakaat.

"Mas mau baca Qur'an?" Pertanyaan itu Putri ajukan saat keduanya telah selesai melaksanakan salat.

Kafka mengangguk. Putri pun langsung mengambilkan Al Quran untuk Kafka. Di kala Kafka membaca Al Quran Putri memperhatikannya. Bacaan Al Quran Kafka sudah lebih baik dari hari terakhir ia membaca Al quran bersama Putri.

Waktu subuh setengah jam lagi tapi Kafka sudah hendak pergi menuju masjid karena kegiatan membaca Al qurannya telah selesai. Tak ada ciuman di kening, Kafka hanya mengucapkan salam sebelum pergi menuju masjid.

Putri menghela napas panjang. Ia merenung sambil memikirkan hal apa yang harus ia lakukan agar Kafka tak lagi bersikap dingin padanya.

***

Setelah melaksanakan salat subuh Putri langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk Kafka. Kafka baru pulang dari masjid saat jam sudah menunjukkan jam enam pagi.

"Tumben lama Mas?" Tanya Putri karena biasanya Kafka akan pulang dari masjid tiga puluh menit setelah adzan.

"Tadi ngobrol dulu sama Pak Farhan." Kafka menyebutkan salah satu tetangga mereka yang memang ramah orangnya.

"Mas mau makan sekarang? Sarapannya sudah siap?"

Kafka menggeleng.

"Mau aku buatin kopi?"

Lagi-lagi Kafka menggeleng. Ia lebih memilih untuk masuk ke kamar dan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. Putri mengikuti langkah Kafka, ia mendudukkan tubuhnya di tepi kasur, matanya menatap ke arah jendela kamar yang sudah dia buka gordennya, matahari sudah bersinar cukup terang meskipun jam baru menunjukkan pukul enam, mungkin karena waktu subuh lebih awal dan musim kemarau panjang pun belum kunjung berakhir.

Cukup lama Putri hanya duduk terdiam, mengumpulkan keberaniannya untuk mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya kepada Kafka. Setelah keberaniannya terkumpul barulah ia berucap. "Apa Kak Azam mengatakan sesuatu yang tidak membuat hati Mas nyaman?"

Tidak ada respon. Kafka tak mengucapkan apa-apa.

"Maafkan aku Mas... aku sudah berusaha untuk tak lagi menyimpan perasaan itu, ta...tapi hal itu sangat sulit kulakukan, bukan karena aku menginginkannya tapi memang tidak bisa kulakukan."

Kafka mengembuskan napas jengah. "Lantas kenapa kamu malah menerima lamaranku?"

"Karena Mas adalah jodohku... a..aku berharap Mas mau memaafkanku."

"Maaf untuk apa?" Tanya Kafka sarkatis, ia beranjak dari atas tempat tidur. Sekarang ia berdiri tepat di depan Putri, matanya menatap tajam ke arah Putri yang menunduk dalam. "Maaf karena kamu masih mencintainya dan aku harus memaklumi hal itu?"

Tubuh Putri membeku.

"Apa sebaiknya kita berpisah?" Yang Kafka katakan bukan sebuah pernyataan namun pertanyaan namun tetap membuat Putri begitu terkejut. "Bila memang hal itu yang kamu inginkan aku akan melakukannya."

Putri langsung menggeleng tangannya meraih tangan Kafka. Ia genggam tangan itu dengan erat. Perasaan takut menyelimuti hatinya. Meskipun rasa cinta belum tumbuh di hatinya namun ia tak ingin berpisah dengan Kafka. Ia ingin rumah tangganya tetap bertahan. Allah memang menghalalkan perceraian, namun Allah membencinya.

"Kenapa kamu tak mau kita berpisah?"

Putri terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan Kafka. Air mata perlahan mulai membasahi pipinya.

Kafka mengacak rambutnya. Ia sangat mencintai Putri dan ia tak mempermasalahkan kalau Putri belum dapat mencintainya, tapi ternyata alasan Putri tak dapat mencintainya karena Putri mencintai laki-laki lain. Hal itu sungguh melukai harga diri Kafka.

"Be..beri aku waktu Mas." Dengan tersedu-sedu Putri kembali berucap.

"Waktu untuk apa?"

"Mencintaimu..."

Kafka menatap lekat wajah Putri yang sudah basah oleh air mata. "Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk mencintaiku?"

Putri terdiam. Ia tak bisa menebak kapan cinta itu akan hadir di hatinya.

"Satu bulan." Akhirnya Kafkalah yang berucap, satu bulan lagi pernikahannnya akan genap berusia satu tahun, bila memang Putri belum kunjung mencintainya dan masih mencintai Azam maka perpisahanlah yang akan terjadi.

Putri mendongakkan wajahnya, ia menatap mata Kafka lekat-lekat. Satu bulan, mampukah ia mencintai Kafka dalam waktu sesingkat itu?

Kafka membalas tatapan Putri. Untuk mencintai dalam waktu sesingkat itu tentu ia pun harus ikut berjuang bersama Putri. Maka sebisa mungkin Kafka akan berusaha untuk dapat menumbuhkan rasa itu di hati Putri. Egonya yang terluka dikarenakan mengetahui Putri mencintai laki-laki lain ia kesampingkan dulu, yang terpenting sekarang ia harus membantu Putri untuk dapat mencintainya.

Perlahan Kafka berlutut di depan Putri. Ia hapus air mata yang membasahi wajah Putri. "Satu bulan. Kita hanya punya waktu satu bulan. Semoga Allah menumbuhkan rasa itu di hatimu." Ucap Kafka lembut.

Putri mengamini ucapan Kafka, ia pun berhambur memeluk Kafka. Memeluknya dengan begitu erat.

***

Kafka menceritakan apa yang tengah terjadi pada rumah tangganya kepada Rey.

Rey membulatkan matanya. "Suka sama cowok lain? Kok bisa? Cowoknya lebih ganteng dibandingin elo? Atau lebih tajir?" Cerocos Rey.

"Lebih shaleh yang jelas," jawab Kafka sekenanya.

"Pantes. Kalau cewek memang susah move on sih kalau dah cinta."

"Terus menurut lo apa yang harus gue lakuin agar dia bisa lupain cowok itu dan cinta sama gue?"

Rey menggaruk rambutnya. Bingung juga, ia kira sahabatnya tidak akan mengalami hal macam ini karena dilihat dari tampang Kafka sudah menang banyak, harta pun banyak tapi tetap saja ternyata dua hal itu tak menjamin dapat mudah untuk dicintai. "Coba buat Putri cemburu."

Kafka mengerutkan keningnya. "Gimana?"

"Elo pura-pura deket sama cewek lain yang kalau bisa ceweknya setipe sama si Putri. Biasanya hal itu akan ngebuat ia merasa takut kehilangan lo, terus kalau dia ngerasaan kaya gitu itu berarti dia udah ada rasa sama lo cuman dianya aja yang belum sadar. Untuk ngehapus rasa cintanya sama cowok lain itu prosesnya pasti lama, Kaf. Nggak akan mudah jadi untuk hal itu lo harus sabar. Yang penting Putri nggak ngelakuin hal aneh kaya selingkuh atau yang lainnya sama cowok yang dia cintai. Kakak gue juga pernah kaya Putri, nikah sama Bang Dito padahal cintanya sama cowok lain, dan Bang Dito nerima itu, yah mau gimana lagi dia juga udah terlanjur cinta mati sama kakak gue, sulit ngendaliin rasa kaya gitu, tapi sekarang setelah lima tahun pernikahan kakak gue bucin benget sama Bang Dito, malah jadi bucinan dia dibandingkan Bang Dito."

Kafka terdiam. Ya, menghapus yang namanya perasaan cinta itu memang sangat sulit.

***
25 Muharram 1445H

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now