9B

1.2K 252 25
                                    

Putri menyambut kedatangan Nisa dengan senyuman lebar. Rasa sedih dan kecewa yang ia rasakan karena penolakan Kafka atas keinginannya ia buang jauh-jauh.

"Kok baru datang sih Kak." Gerutu Putri sambil memeluk erat tubuh Kakak tercintanya.

"Mas Bagas harus nyelesain dulu kerjaannya. Nggak bisa ditunda."

"Yang sudah jadi bos mah beda yah," bisik Putri sambil melirik ke arah suami Nisa yang tengah mengobrol dengan Kafka.

"Bos dari Hongkong. Cuman diangkat jadi karyawan tetap aja. Kemarinkan masih kontrak jadi kalau lembur tuh tetap dihitung, kalau sekarang sudah jadi karyawan tetap lembur tuh nggak dihitung Put."

"Kok gitu?"

"Royalitas tanpa batas kata Mas Bagas. Perusahaan nggak mau rugi. Nggak ngerti Kakak juga."

"Nggak niat buat cari kerja yang lain?" Tanya Putri penasaran. Kakak iparnya memang hanya lulusan SMA tapi pengetahuan dan kemampuannya pada bidang pekerjaan yang dia geluti cukup mumpuni jadi sepertinya nggak akan susah bila ingin mendapatkan pekerjaan yang lain.

"Kata Mas Bagas sudah malas kesana kemari nyari kerjaan baru. Syukur-syukur kalau kerjaan barunya lebih enak tapi kalau sebaliknya gimana."

"Harus dicoba dulu biar tahu enak atau nggak enak," ucap Putri sambil terkekeh geli.

"Mungkin kalau belum banyak buntutnya dia mau coba tapi ini udah banyak buntutnya. Terlalu beresiko Put."

"Banyak gimana, baru juga satu?"

"Satu anak, satu istri dan dua adik perempuan. Banyak kan? Apalagi sekarang adik bungsu Mas Bagas mau masuk kuliah, perlu biaya banyak."

Putri mengangguk paham. Mas Bagas anak sulung sekaligus anak lelaki satu-satunya, kedua adiknya perempuan dan sama halnya dengan Putri dan Nisa, Bagas pun sudah tidak memiliki ayah jadi dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya hingga saat ini meskipun ia sudah berumah tangga.

"Oh iya Kak.. tadi aku meminta sesuatu sama Mas Kafka tapi Mas Kafka tak bisa memenuhinya." Putri membawa beberapa piring kotor ke wastafel sedangkan Nisa memasukkan beberapa makanan ke dalam kulkas.

"Memangnya kamu minta apa?"

"A..aku minta...." Putri tak melanjutkan ucapannya saat ia berpikir kalau apa yang akan ia ucapkan bisa jadi akan membuat kakaknya sedih dan merasa bersalah, sama halnya dengan apa yang dirasakan Putri sekarang.

"Minta apa?" Tanya Nisa penasaran.

"Bukan apa-apa, kak." Jawab Putri sambil mencuci piring dan gelas kotor yang sudah memenuhi wastafel.

"Kamu lagi ada masalah sama Kafka?" Nisa berdiri di samping Putri, ia membantu meletakan piring yang sudah Putri cuci ke rak tempat piring ditiriskan dari air.

"Nggak kak. Alhamdulillah Mas Kafka suami yang sangat baik." Wastafel sudah bersih dari piring dan gelas kotor. Kini keduanya menghampiri ibu di teras. Beliau tengah menemani Laila--Putri Nisa yang sekarang usianya empat tahun, ia sedang bermain pasir, hadiah yang sengaja Putri belikan untuk keponakannya tersebut.

"Sini Tante bantu bikinnya." Putri duduk di samping Laila. Ia membentuk pasir itu menjadi istana. "Ini atapnya bentuk apa?" Putri menunjuk atas istana tersebut.

"Segita." Jawab Laila penuh semangat.

"Pinter. Coba sekarang Ila yang bikin atapnya."

Si kecil Laila mengangguk dengan semangat.

Putri menoleh ke arah Nisa yang tengah memijit pundak ibu. Ibu tersenyum senang. Matanya terlihat bahagia melihat Laila yang tengah serius membuat atap untuk istana pasirnya.

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now