8A

1.5K 289 67
                                    

Musim hujan telah datang menyapa, dari pagi hingga pagi lagi hujan tak pernah berhenti turun, beberapa daerah langganan banjir pun tak bisa mengelak atau lari dari tamu yang tak diundang, yang bukan lain adalah si air kotor yang datang bersamaan dengan sampah-sampah yang terbawa dari sungai-sungai yang meluap. Beberapa kali saat keluar rumah Putri kehujanan, meskipun menggunakan payung tapi air hujan tetap berhasil membasahi sebagian tubuhnya karena hujan deras datang disertai oleh angin yang cukup kencang. Dan hasil dari kehujanan itulah yang menyebabkan Kepala Putri terasa begitu pusing dan seluruh persendian tubunya pun terasa sakit, sepertinya virus influenza telah berhasil membobol pertahanan imun tubuhnya. 

Putripun langsung meminum obat, berharap kalau obat yang dia minum dapat mengurangi rasa pusing dan sakit di seluruh tubuhnya.

***

Hujan masih turun dengan deras saat Kafka telah pulang dari kantor. Dahinya sedikit mengerut saat ia tak melihat sosok Putri yang biasanya selalu membukakan pintu saat ia pulang dari kantor.

Kafka berjalan menuju dapur, mungkin Putri sedang memasak-- pikirnya, namun tak ada. Dapur terlihat sepi, bahkan di meja makan pun tak ada makanan yang  tersaji padahal biasanya saat pulang kerja makanan sudah tertata rapi di atas meja makan.

Kafka mencuci tangannya dan duduk di salah satu kursi meja makan. Punggungnya ia sandarkan ke sandaran kursi. Ia kembali mengingat pembicaraannya dengan Rey, haruskah ia melakukan hal itu?

Berpura-pura dekat dengan wanita lain agar Putri merasa cemburu, tapi bagaimana kalau Putri tak merasa cemburu? Apakah ia harus menyerah? Berpisah dengan Putri? Dan membiarkan Putri hidup bahagia dengan laki-laki yang ia cintai.

Tidak, Kafka tidak akan melakukan hal itu. Apa yang ia katakan pada Putri beberapa hari yang lalu tidak akan ia lakukan. Tidak peduli Putri mencintainya atau tidak yang terpenting Putri tetap ada di sampingnya. Ya, itulah yang akan Kafka lakukan.

Ia mencintai Putri, dan ia tidak akan menuntut Putri untuk balas mencintainya. 

Setelah berkutat dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya Kafka beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah kamar. Saat pintu terbuka ia melihat Putri yang meringkuk di balik selimut. Dahinya basah oleh keringat.

"Kamu sakit?" Kafka bertanya lembut sambil menyeka kening Putri.

Putri membuka matanya, "Mas sudah pulang." Dengan bibir kering Putri berucap pelan. "Ma..maaf Mas... aku belum masak." Meski masih merasa tidak enak badan Putri memaksakan dirinyan untuk bangun dari tempat tidur. Ia berjalan ke arah Kafka dan mencium punggung tangannya. "Aku buatkan telur dadar yah. Apa Mas mau?"

Kedua tangan Kafka memegang bahu Putri dengan lembut, begitupun dengan sorot matanya yang menatap langsung ke mata Putri yang terlihat sayu.

"Tidak usah."

"Mas sudah makan?"

Kafka menggeleng. "Menyiapkan makanan bukan kewajibanmu." Ya, menyiapkan makanan, bahkan pekerjaan rumah lainnya pun bukan menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan seorang istri.

"Itu memang bukan kewajibanku Mas, tapi aku senang melakukkannya." Ucap putri pelan sambil melepaskan tangan Kafka yang memegang bahunya. Dengan langkah pelan Putri berjalan ke arah dapur. Di dapur ia mengambil sebutir telur dari dalam kulkas. Hanya menggoreng telur yang bisa ia lakukan sekarang.

Kafka mengikuti langkah Putri menuju dapur. Ia berdiri tepat di belakang Putri yang tengah menggoreng telur. Kedua tangannya memeluk pinggang Putri.

Sejenak tubuh Putri membeku hingga akhirnya ia mampu mengontrol detak jantungnya.

"Mas." Ucap Putri sambil menoleh ke arah Kafka yang malah mematikan kompor, padahal telur yang sedang ia goreng belum matang.

"Aku belum lapar." Kafka menarik lembut tangan Putri. "Ayo kembali ke kamar. Kamu perlu istirahat."

Bukan Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang