3B

2.4K 545 27
                                    

Putri menghampiri Kafka yang tengah membaca koran di sofa, sudah tiga bulan ia berstatus sebagai istri Kafka namun hingga saat ini ia tetap merasa takut pada Kafka, sifat Kafka berubah-ubah bagaikan bunglon, kadang hangat namun tak jarang juga bersikap dingin dan kejam.

"Mas."

Kafka mengalihkan pandangannya dari koran yang tengah ia baca. "Ada apa?"

"Bo..bolehkah besok aku ke rumah ibu?" Besok hari kelahirannya dan ia ingin bersama ibunya di hari tersebut karena memang hal itulah yang selalu ia lakukan.

Kafka tidak memberikan jawaban apapun, ia malah kembali membaca koran. Mengabaikan Putri yang masih berdiri di tempatnya.

Setelah beberapa saat dan Putri masih berdiri di tempatnya barulah Kafka bertanya, "Kenapa kau ingin ke rumah ibu?" Kafka mengakhiri kegiatan membacanya dan menyuruh Putri untuk duduk di sampingnya.

Putri menuruti perintah Kafka, tubuhnya seketika terasa mati rasa saat Kafka merebahkan kepalanya di atas pangkuan Putri. Tangan Kafka meraih tangan Putri, menggenggamnya lantas menciuminya. Akan terasa manis bila hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang mencintaimu, namun sebaliknya akan menjadi terasa menakutkan bila yang melakukannya adalah seseorang yang sama sekali tak mencintaimu.

"Kenapa kau ingin ke rumah ibu?" Kafka mengulangi pertanyaannya.

Sebisa mungkin Putri berusaha untuk meminimalisir rasa takut yang kini ia rasakan, dengan kosa kata yang terpatah-patah ia pun memberitahu Kafka kalau esok hari kelahirannya dan ia ingin bersama ibunya di hari tersebut.

"Kau tidak ingin merayakan hari ulang tahun bersamaku?"

Putri memilih diam. Tak ingin merangkai kalimat penuh dusta.

Kafka tertawa sumbang sambil beranjak dari posisi berbaringnya. "Mau jam berapa kau ke rumah ibu?"

"Ja..jam delapan."

"Pagi?"

Putri mengangguk. Dalam hati ia tak berhenti berdoa, memohon kepada Allah untuk melembutkan hati Kafka agar mau mengijinkannya berkunjung ke rumah ibunya.

"Pergilah." Ucap Kafka singkat, memberi ijin Putri untuk pulang ke rumah ibunya.

Seketika perasa bahagia menyelimuti hati Putri. Allah mengabulkan doanya.

***

Pagi-pagi sekali Putri sudah selesai membersihkan apartemen dan menyiapkan sarapan. Sepanjang pagi senyuman selalu menghiasi wajahnya.

Kafka keluar dari kamar sudah dalam keadaan rapi dalam balutan kemeja lengan panjang berwarna biru dan celana bahan berwarna cream, selain rapi tentu Kafka pun terlihat tampan.

Seperti biasa keduanya sarapan bersama dalam suasana hening. Tidak pernah ada obrolan santai yang terjalin diantara keduanya.

"Aku akan mengantarkanmu ke rumah ibu." Ucap Kafka setelah menghabiskan sarapannya.

Putri langsung mengangkat kepalanya, ingin rasanya ia menolak niat baik Kafka, namun tentu ia tidak berani melakukannya.

"Ada yang mau kau beli untuk ibu?" Tanya Kafka saat keduanya sudah berada di dalam mobil.

"Ti..tidak ada." Jawab Putri.

Sepanjang perjalanan menuju rumah ibunya Putri lebih memilih menatap keluar jendela, memperhatikan kesibukan orang-orang di pagi hari. Ada rasa rindu di hatinya, rindu akan rutinitas kesibukan di pagi hari sebagai seorang wanita karier.

Perlahan mobil Kafka memasuki perkarangan rumah Putri yang mungil. Senyuman yang sempat pudar dari wajah Putri kembali merekah saat retina matanya menangkap sosok ibunya yang sudah berdiri di depan teras.

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now