5A

2.4K 516 22
                                    

Kafka benar-benar telah berubah. Ia kini telah menjelma menjadi sosok suami yang sangat baik, romantis dan tentunya bertanggung jawab. Gunung es yang dulunya kokoh menjulang tinggi kini telah mencair. Tak ada keangkuhan dan kekejaman yang tersisa.

Hari ini Kafka mengajak Putri ke sebuah rumah. Rumah dengan desain minimalis. Di halaman depan terdapat beberapa pohon hias dan pot-pot berukuran besar yang ditanami oleh berbagai macam jenis bunga. Bunga-bunga yang sangat indah hingga membuat Putri terpesona. Bila di halaman depan dipenuhi dengan pohon hias dan tanaman berbunga, bedahalnya dengan halaman yang ternyata lebih luas dibandingkan halaman depan, di halaman belakang terdapat pohon mangga yang menjulang tinggi, pohon pisang, dan beberapa pohon berbuah lainnya. Selain pohon-pohon terdapat juga kolam ikan yang dihuni oleh ikan-ikan hias yang cantik, gajebo yang terbuat dari bambu dan ayunan yang terbuat dari kayu jati. Kafka belum mengajak Putri kebagian dalam rumah, tapi halaman depan dan belakang rumah ini telah berhasil menarik hati Putri.

"Kita akan tinggal disini Mas?" Pertanyaan itu Putri ajukan saat Kafka mengajaknya ke dalam rumah, melihat desain dalam rumah secara mendetail. Ada tiga kamar yang terdapat di dalam rumah tersebut dan setiap kamar dilengkapi dengan kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang keluarga lengkap dengan televisi berukuran besar dan rak buku yang menjulang tinggi yang sudah dipenuhi oleh novel-novel fiksi karya penulis favorit Putri, dan tentunya dapur yang disertai dengan ruang makan.

"Kalau kamu suka?" Kafka memeluk tubuh Putri dari belakang.

"Suka banget." Jawab Putri dengan sangat antusias. Ini rumah impiannya. Rumah yang tak terlalu besar, namun mempunyai halaman depan dan belakang yang luas. Satu bulan yang lalu Kafka menanyakan perihal rumah padanya. Rumah seperti apa yang ingin Putri tempati dan Kafka benar-benar mewujudkan keinginan Putri. "Mas dapat novel-novel ini dari mana?" Tanya Putri sambil memperhatikan deratan buku yang mengisi rak buku.

"Dari kamar kamu. Sebagiannya lagi aku sengaja beli buat kamu."

Putri membalikkan badannya dan membalas pelukan Kafka. "Makasih banget yah Mas."

"Sama-sama sayang." Kafka mencium pucuk kepala Putri.

Putri memejamkan matanya, menempelkan wajahnya ke dada Kafka, dalam hati ia memanjatkan doa, berharap Allah akan segera menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Kafka. Ya, hingga detik ini perasaan itu belum tumbuh padahal Kafka sudah memperlakukkannya dengan sangat baik.

Bukankah akan sangat indah bila rumah tangga keduanya disertai dengan rasa saling cinta? Bukan hanya satu pihak saja yang mencintai.

***

Satu minggu kemudian keduannya menempati rumah baru. Berharap di rumah baru ini kehidupan rumah tangga mereka akan lebih bahagia.

"Mas kulkasnya masih kosong." Ucap Putri saat melihat tak ada apapun di dalam kulkas, bahkan kabel kulkasnya pun belum tersambung ke stop kontak.

"Bagaimana kalau kita makan diluar saja sekalian belanja?" Ajak Kafka.

Putri mengangguk semangat. Keduanya pun pergi ke sebuah mall yang letaknya tidak jauh dari rumah baru mereka.

"Mau makan apa?" Tanya Kafka pada Putri saat keduanya telah sampai di tempat makan.

"Samain aja sama Mas. Aku ke toilet dulu yah."

Kafka mengangguk, Putri pun pergi menuju toilet. Di toilet tanpa disangka-sangka saat Putri sedang mencuci tangannya di wastafel ia bertemu dengan Nadhira.

Nadhira tersenyum sinis pada Putri. "Kalian terlihat sangat bahagia."

Putri memilih diam. Tidak menghiraukan ucapan Nadhira.

"Aku yakin setelah merasa bosan Kafka pasti akan membuangmu." Ucap Nadhira saat Putri akan meninggalkan toilet. Dan Putri tetap mengabaikannya. Tangan Nadhira terkepal kuat. Rasa benci memenuhi hatinya. Ia mencintai Kafka, sangat mencintai Kafka dan berharap Kafka akan kembali ke dalam pelukkannya, dan ia akan melakukan berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut.

***

Kegiatan makan siang telah selesai, Putri memilih untuk tidak menceritakan pertemuannya dengan Nadhira pada Kafka. Keduanya kini tengah asik berbelanja sambil mengobrol.

"Sudah hampir penuh Mas," ucap Putri sambil menatap troli yang sedari tadi didorong oleh Kafka. Troli tersebut sudah terisi penuh dengan berbagai macam bahan makanan, snack, biskuit, dan lain sebagainya.

"Tidak apa-apa." Jawab Kafka santai. Belanja satu troli penuh tidak akan membuatnya jatuh miskin. "Tambah satu troli lagi juga nggak apa-apa."

Putri mengerucutkan bibirnya, satu ekspresi yang menggemaskan. Andai saja mereka bukan tengah berada di tempat umum sudah pasti Kafka akan mencium bibir itu. "Sudah ah Mas, jangan ngajarin aku jadi istri yang boros."

Kafka mencubit gemas pipi Putri. "Sesekali boros nggak apa-apa."

"Nggak ah takut kebiasaan. Ayo ke kasir jangan keliling lagi." Ucap Putri sambil menarik tangan Kafka menuju kasir.

***

Sesampainya di rumah Kafka menyuruh Putri untuk istirahat namun Putri menolak.

"Aku mau beresin ini dulu." Putri menunjuk lima kantong plastik besar berisi belanjaaannya.

"Nanti saja."

Putri kembali mengerucukan bibirnya, "Tapi..." belum sempat Putri menyelesaikan ucapannya Kafka sudah terlebih dulu menempelkan bibirnya di atas bibir tipis Putri.

Putri memejamkan matanya, membiarkan Kafka melakukan hal yang dia inginkan.

"Aku sungguh mencintaimu." Bisik Kafka tepat di samping telinga Putri. Dan untuk kesekian kalinya Putri tak mampu membalas ucapan tersebut karena hingga detik ini rasa cinta itu belum tumbuh di hatinya. Apa yang dia lakukan semata-mata hanyalah untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri.

Kafka memeluk tubuh Putri, ia tatap sendu mata Putri. Ia bukan laki-laki bodoh yang tidak tahu akan perasaan yang dirasakan oleh seseorang yang dia cintai. Tentu ia tahu kalau hingga detik ini Putri belum mampu membalas perasaan cintanya. Ia tak mempermasalahkan hal itu, ia akan sabar menunggu. Cukup Putri tak membenci dan memaafkannya itu sudah cukup baginya, dan yang terpenting Putri selalu ada di sampingnya.

TBC

13 Muharram 1445H

Bukan Pernikahan ImpianDär berättelser lever. Upptäck nu