7A

2.2K 490 27
                                    

Untuk pertama kalinya setelah menikah Putri kembali mengikuti kajian yang diadakan setiap hari minggu pagi di masjid dekat kampusnya dulu dan kali ini ia pergi ke kajian tersebut dengan Kafka.

"Khusus untuk perempuan di atas, kalau laki-laki disini," ucap Putri sambil menunjuk ke dalam masjid yang sudah dipenuhi oleh para bapak-bapak.

"Kita nggak bareng-bareng denger kajiannya?" Tanya Kafka yang baru pertama kali dalam hidupnya mengikuti kajian.

Putri menggeleng. "Aku ke atas dulu yah Mas. Yang khusyuk denger kajiannya."

Kafka mengangguk patuh. Ia menatap ke arah Putri yang menaikin anak tangga. Gamis berwarna hitam dan kerudung berwana cream yang menjuntai hingga menutupi sebagian badan Putri membuat Putri terlihat begitu cantik dan anggun. Setelah Putri tak lagi tertangkap oleh retina matanya barulah Kafka masuk ke dalam masjid. Ia kebagian duduk di bagian paling belakang, bagian depan dan tengah sudah terisi penuh.

Kafka duduk di samping seorang kakek tua, kakek tua itu memegang buku dan pensil, apa yang dijelaskan oleh sang ustadz ditulis oleh kakek tua itu dengan tangan yang sedikit bergetar, sekilas kakek tua itu menoleh ke arah Kafka dan tersenyum ramah sebelum kembali fokus mendengarkan ceramah.

Lihatlah kakek tua saja masih bersemangat mencari ilmu agama, jadi akan sangat memalukan bila banyak yang jauh lebih muda malas menuntut ilmu agama. Padahal ilmu agama sangatlah penting dipelajari untuk bekal kita menjalani hidup di dunia dan di akhirat.

Satu jam kemudian kajian selesai, Kafka mendapat pesan dari Putri.

Mas, aku mau ngobrol sama temen dulu di atas. Apa boleh?

Kafka pun membalas pesan Putri.

Boleh, tapi jagan lama-lama yah ngobrolnya.

Mungkin setengah jam Mas.

Selagi menunggu Putri yang tengah mengobrol dengan temannya, Kafka pun melaksanakan salat sunah dhuha, setelah itu ia membaca Al Quran. Saat ia telah mengakhiri kegiatannya membaca Al Quran, ia dihampiri oleh Azam yang ternyata mengikuti kajian itu juga.

"Kenalkan nama saya Azam." Azam menyodorkan tangan kanannya ke arah Kafka.

Dahi Kafka berkerut, namun ia tetap menyambut ulurkan tangan Azam. "Saya Kafka."

Azam tersenyum seadannya. "Boleh kita bicara sebentar?"

"Apa kita pernah saling bertemu sebelumnya?"

"Pernah di masjid Al Ikhlas," Azam menyebutkan nama masjid yang terletak di dekat rumah bibinya, dan ia pernah bertemu Kafka sekali disana pada saat waktu subuh. Subuh itu karena tak ada yang mengumandangkan azan maka dialah yang mengumandangkan azan dan Kafka yang membaca iqamah.

"Oh anda yang mengumandangkan azan yah?" Akhirnya Kafka mengingat Azam.

Azam mengangguk. "Mari kita bicara disana?" Azam menunjuk ke arah bangku panjang yang terdapat di pinggir taman masjid.

Kafka mengangguk. Keduanya pun duduk di sana.

"Maaf kalau pertanyaan saya kurang sopan." Azam memulai pembicaraan.

Kafka cuma menaikkan sebelah alisnya. Tanda kalau ia tidak terlalu suka dengan pemilihan kalimat yang Azam gunakan. Sudah tahu tidak sopan tapi kenapa tetap bertanya. Batin Kafka.

"Apa benar anda dan Putri menikah karena sebuah taruhan?"

Dahi Kafka berekerut. Ia sedikit merasa kaget namun dengan cepat ia mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat santai. "Bukan. Saya menikahinya karena saya mencintainya," Jawab Kafka dengan jawaban yang tentu seratus persen berdusta. Orang asing tidak perlu tahu awal pernikahannya dengan Putri. Cukup Rey dan Nadhira saja yang tahu, dan bila orang asing di depannya tahu itu berarti Nadhira yang memberitahunya karena Rey tidak mungkin melakukan hal itu.

"Benarkah?" Azam menatap Kafka dengan tatapan mengintimidasi.

Namun Kafka sama sekali tak merasa terintimidasi. "Tentu. Apa anda mengenal istri saya." Dengan sengaja Kafka menekan penyebutan kata istri, memberi arti bahwa Putri adalah istrinya.

Azam mengangguk. Dan rangkaian kebohonganpun tiba-tiba ia ucapkan Pada Kafka. "Sebelum menjadi istri anda Putri adalah calon istri saya. Kami sudah berencana untuk menikah. Tapi saya harus menyelesaikan pendidikkan saya diluar kota..."

"Lantas apa yang anda harapkan sekarang?" Ucap Kafka memotong cerita yang tengah Azam rangkai, sungguh Kafka muak mendengar ucapan Azam. "Sekarang Putri telah menjadi istri saya. Tidak ada yang bisa anda harapkan lagi." Ucap Kafka tegas.

Azam terdiam. Ya, apa yang dia harapkan. Cinta telah membuat ia menjadi seorang hamba yang sangat memalukan.

Karena Azam tak kunjung kembali berbicara akhirnya Kafka pun memilih untuk pergi. Retina mata Kafka langsung menangkap keberadaan Putri yang tengah berdiri di teras masjid sambil menatap ke arah Azam.  Tangan Kafka terkepal kuat saat melihat sorot mata Putri yang berbeda saat melihat Azam.

Jadi benar apa yang tadi diucapkan oleh Azam, kalau mereka berdua awalnya hendak menikah. Batin Alka menerka sesuatu yang pada kenyataannya tak benar adanya. Putri dan Azam memang saling mencintai, namun tak pernah ada rencana pernikahan diantara keduanya.

"Kita pulang," ucap Kafka dingin pada Putri yang masih menatap ke arah Azam.

Putri mengangguk. Ingin rasanya ia bertanya pada Kafka. Kenapa ia bersama dengan Azam? Apa yang keduanya bicarakan? Apa keduanya saling mengenal? Namun semua pertanyaan itu Putri telan mentah-mentah saat melihat ekspresi marah yang terlihat jelas dari wajah Kafka.

***

Semenjak Kafka bertemu dengan Azam, sikap Kafka kembali dingin pada Putri. Mereka tetap berada di satu rumah yang sama, bahkan tidur di satu tempat tidur yang sama, namun Kafka tak pernah lagi bersikap manis pada Putri, tak ada lagi obrolan santai yang terjalin diantara keduanya.

Seperti malam ini, Putri sengaja memasak makanan kesukaan Kafka, namun Kafka sama sekali tak memakannya.

"Aku sudah makan tadi di kantor." Hanya kata itulah yang Kafka katakan sebelum berlalu pergi meninggalkan Putri yang berdiri di ambang pintu utama.

Putri  mengangguk kelu. Akhirnya untuk kesekian kalinya ia kembali makan malam seorang diri.

Setelah makan malam dan mencuci piring kotor Putri masuk ke kamar, di kamar Kafka sudah jatuh tertidur. Putri merebahkan tubuhnya di samping Kafka. Ia tatap wajah Kafka.

Ia mengingat kembali pembicaraannya dengan Kak Laila minggu lalu di masjid tempatnya mengikuti kajian.

"Bagaimana caranya agar kita tak jatuh cinta pada seseorang yang memang tak harusnya kita cintai?" Itulah yang Putri tanyakan pada Kak Laila.

"Dekatkan diri pada Allah. Hanya itu satu-satunya cara. Hati kita pasti dijaga sama Allah kalau kita dekat dengan-Nya. Kalau memang kamu tetap merasa masih mencintainya, aku rasa itu bukan perasaan cinta tapi nafsu. Cinta pasti berkaitan erat dengan nafsu dan iman. Saat diri kita dikuasi oleh nafsu maka cinta yang kita rasakan sudah pasti berlabuh pada sesuatu hal yang salah, tapi kalau cinta kita dilandasi oleh iman, insya Allah cinta kita tak akan keliru penempatannya. Banyak contohkan ketika masih pacaran cinta banget sama si dia tapi ketika sudah nikah biasa aja? Kenapa karena disaat belum nikah setan gencar banget menggoda kita. Si setan membuat dia terlihat sempurna di mata kita, si setan membuat dia terlihat sangat menarik di mata kita, dan setan mengisi pikiran kita dengan segala mimpi indah, yang pada kenyataannya hanya khayalan semata. Beda kalau sudah nikah setan menggoda kita agar tak suka sama pasangan kita. Cinta memang tak bisa dipaksakan kedatangannya, tapi bila kita menanamnya, layaknya sebuah tumbuhan yang ditanam lantas dirawat dengan baik insya Allah atas ijin Allah ia akan tumbuh. Begitu juga dengan cinta."

Perlahan Putri meraih tangan Kafka, ia genggam tangan itu dengan lembut. Matanya masih menatap ke arah wajah Kafka. Tidak ada yang mustahil bila Allah telah berkehendak. Ia pasti dapat mencintai Kafka dan cintanya pada Azam perlahan pasti akan terkikis dengan sendirinya.

***
23 Muharram 1445H

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now