6A

2.2K 493 36
                                    

Kafka menghentikan mobilnya di sebuah toko bunga, untuk pertama kalinya ia akan membelikan bunga untuk Putri. Pilihannya jatuh pada bunga mawar berwarna putih.

"Kafka."

Kafka menolehkan kepalanya ke arah seseorang yang baru saja memanggilnya. Orang tersebut ternyata Nadhira.

"Kamu lagi apa?" Tangan Nadhira menyentuh pundak Kafka, matanya mengerling nakal.

"Apa yang bisa kulakukan di toko bunga selain membeli bunga," jawab Kafka dingin.

"Kamu masih marah sama aku? Aku kan sudah minta maaf?" Tangan Nadhira bergelayut manja pada tangan Kafka, namun dengan cepat Kafka menepisnya. "Harusnya kamu berterimakasih sama aku. Berkat aku ngasih tahu wartawan kamu jadi nggak langsung pisah sama istri kamu dan sepertinya sekarang kalian hidup bahagia," celoteh Nadhira, dalam hati sungguh ia menyesali tindakannya kala itu. Andai pernikahan Kafka tak sampai pada media sudah pasti Kafka dan Putri sekarang sudah berpisah, bukannya malah hidup bahagia.

Kafka mengabaikan Nadhira, ia berjalan ke arah kasir untuk membayar bunga yang hendak ia beli.

Nadhira mendengus kesal. Semuanya gara-gara taruhan bodoh yang dibuat Rey, kalau saja Kafka tak mengikuti taruhan bodoh tersebut sudah pasti sekarang Kafka masih berstatus sebagai pacarnya atau bahkan lebih.

***

Hari ini Putri berencana akan memasak soto ayam, namun ternyata persediaan ayamnya habis. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko freshmart yang letaknya tak jauh dari rumah, namun sebelumnya ia minta ijin dulu pada Kafka. Dan Kafka pun mengijinkannya.

Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit untuk sampai ke Freshmart. Selain membeli ayam Putri membeli nugget dan sosis. Setelah dirasa cukup ia pun menuju kasir. Namun langkah kakinya seketika terhenti saat ia melihat sosok Azam yang tengah berdiri di depan meja kasir. Putri sudah hendak menjauh, berharap Azam tak akan menyadari keberadaannya namun belum sempat ia menjauh Azam sudah terlebih dulu menoleh ke arahnya.

"Putri." Gumam Azam, ia sungguh tak mengira kalau akan kembali bertemu dengan Putri.

Sebisa mungkin Putri berusaha untuk mengkontrol detak jantungnya.

"Kita kembali bertemu. Beli apa?" Azam menghampiri Putri dan melirik ke arah ke ranjang yang dipegang erat oleh Putri.

"Ayam Kak." Jawab Putri saat sudah dapat mengkontrol detak jantungnya. Ia pun berjalan ke arah kasir untuk membayar belanjaannya. Hatinya terasa lega saat Azam tak memperpanjang obrolan. Namun rasa lega itu seketika berganti menjadi kegelisahan saat ternyata Azam menunggunya diluar toko.

"Bisa kita bicara sebentar?"

"Tentang apa?" Tanya Putri, pandangannya menatap ke arah jalan.

"Apa kamu mencintainya?"

Dahi Putri berkerut. Tanda ia tak paham dengan pertanyaan yang Azam ajukan.

"Apa kamu mencintai suamimu?"

Pertanyaan yang sungguh terbilang tidak sopan, batin Putri.

"Maaf kalau pertanyaanku tidak sopan." Ucap Azam saat melihat ekspresi tak suka dari wajah Putri. "Aku cuma ingin tahu bagaimana perasaanmu pada suamimu."

"Tentu aku mencintainya, kalau aku tidak mencintainya tidak mungkin aku menikah dengannya." Rangkaian kalimat penuh dustapun terucap dari bibir Putri. Tapi memang hal itulah yang seharusnya dirasakan oleh seorang istri pada suaminya.

Azam tersenyum sendu. "Kalau begitu artinya tak ada lagi kesempatan untuk hubungan kita."

"Kita tak pernah menjalin hubungan apapun, Kak." Ucap Putri tegas. Ada rasa kecewa yang mengetuk hati Putri. Kenapa Azam berubah? Azam laki-laki yang shaleh, tapi kenapa ia masih mengharapkan suatu hubungan yang tidak akan mungkin terjalin.

Bukan Pernikahan ImpianWhere stories live. Discover now