Terjebak Hujan

32 2 0
                                        

Rintik hujan kembali menyapa kota ini. Merintik di tengah belantara kemarau panjang yang enggan beranjak. Rintik hujan meniupkan kesejukan di dunia yang jarang terasa akhir-akhir itu. Anika merasa ada yang aneh pada hujan kali ini. Awannya terlihat begitu muram, walau tak henti-hentinya menumpahkan air.

"Selalu ada beban yang ditanggung sendiri."

Prima mengerjap, terbangun dari lamunan panjang. Satya mengklakson mobil di depannya, memintanya beranjak. Jakarta, biasalah macet. Apalagi jam pulang kantor seperti itu, jalanannya bisa lebih penuh daripada pasir di pantai.

"Kalau gini bisa kejebak dua sampai tiga jam," gerutu Satya kesal.

Prima hanya menggeleng-geleng. Sejak tadi, hampir satu jam, pemuda di sebelahnya itu tak terus saja menggerutu. Mengeluarkan segala macam umpatan, yang sampai dia ulang berkali-kali. Kehabisan stok umpatan tampaknya.

"Mana aku ada janji jam sepuluh. Sial!" gerutu Satya lagi.

Prima mengernyit, lama-lama ikutan kesal melihat Satya berulah seperti itu. "Ck! kamu bisa nggak tidak mengeluh? Iya, aku tahu kamu ada janji jam sepuluh. Aku tahu macetnya tidak akan berakhir dua-tiga jam. Aku bosan dengar ocehanmu, tahu nggak? Tadi juga aku bilang, jangan lewat jalan sini, tapi kamu tetap milih, kan? Ya, ini semua juga salahmu!" ucap Prima panjang lebar, yang akhirnya menyalahkan Satya. Rasanya baru kali ini dia mengeluarkan kata sepanjang itu, selama lebih dari enam bulan.

Satya mengangkat alis. "Kenapa kamu jadi nyalahin aku?"

Prima berdecak tak suka. "Yah emang salahmu!"

"Terserah!" tanggap Satya cepat. Kesal. Sekalinya Prima mengeluarkan kata-kata, justru menyalahkannya.

"Dia yang salah, dia juga yang marah. Manusia zaman sekarang," ucap Prima mirip gerutuan. Matanya menerawang ke luar jendela mobil. Lebih baik dia menikmati awan yang berarak dan bersiap mengeluarkan kandungan air yang menjadi bebannya daripada mendengarkan segala macam sumpah serapah dari mulut Satya.

Tapi, mmm... tanpa Prima sadari, kehadiran pemuda di sampingnya membuat pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Tanpa dia sadari, beban di pikirannya sedikit menghilang.

Braaak!

Prima kaget mendengar suara pintu mobil yang ditutup kasar.

Diliriknya Satya yang terengah-engah. Rambut dan bajunya basah.

Prima mengernyit, kapan pemuda itu keluar? Ia sama sekali tak menyadarinya.

"Sial!" rutuk Satya.

Prima mengangkat alis. "Kenapa lagi?" ucapnya jengah.

Satya mengacak rambut yang basah, dan gerakannya itu membuat getaran halus di hati Prima. Gadis itu terpana. Satya tak menyadari dirinya dipandangi tanpa bernapas oleh gadis di sampingnya.

"Di depan banjir, parah!. Nggak bisa gerak sedikit pun. Padahal hujannya juga baru sebentar. Tapi iya sih, deres banget!"

Prima tersadar dari keterpanaannya, buru-buru mengalihkan pandangan, sebisa mungkin tidak menatap mata Satya. Bisa-bisa dia tak menginjak tanah lagi. Melayang terbius pesona lelaki itu.

Jantung Prima berdebar keras, membuat ia yakin seluruh dunia akan tahu jika berada di dekatnya. Kenapa pemuda itu begitu memesonanya?

Satya melirik Prima dengan tatapan tak mengerti. Tiba-tiba saja Prima mengalihkan pandangan ke arah lain saat dia sedang berbicara. Ada apa lagi? Ada masalah apa lagi yang membuat gadis itu merasa terganggu?

Tidakkah Satya tahu sesungguhnya dialah yang menyebabkan masalah dalam diri gadis itu, hingga ia kesulitan mengatur debar jantungnya sendiri.

Prima menarik napas panjang. Sekarang, setelah sekian lama terjebak macet dan hujan, dia baru sadar bahwa kelamaan di mobil berdua Satya adalah kesalahan besar! Prima memberanikan diri menoleh, bertumbukan dengan mata Satya yang masih mengepungnya, menyebabkan dia tak bisa melarikan pandangan ke mana-mana.

Tahu-tahu saja pemuda itu menggenggam tangan kanan Prima kuat-kuat. "Kamu kenapa? Jangan bikin aku khawatir."

Prima menghela napas. Kamu. Kamu, Satya, batinnya menyalahkan Satya, tapi mulutnya terkunci.

"Kamu nggak mau cerita sama aku?"

Prima menggeleng. Tetap memilih diam. Dia harus menetralisir perasaannya. Prima yakin seribu kali yakin, berada di samping Satya membuatnya kesusahan mempertahankan deru jantungnya yang seakan ingin meledak.

Prima tersenyum tak ramah. "Apa?! Sok perhatian!" ketusnya, yang tak lain adalah bentuk pelarian dirinya agar bisa beralih dari mata yang mampu menghipnotisnya itu.

"Aku memang selalu perhatian sama kamu kan?. kamu-nya aja yang nggak pernah sadar," Satya membela diri. "Eh, Prima, kamu nggak pernah pacaran ya?" tanya Satya tiba-tiba.

Prima menerawang. Seingatnya dia tidak pernah menjatuhkan diri dalam ikatan dengan lelaki mana pun. Dia menggeleng.

Satya terbelalak, tak percaya. "Serius? perempuan Jerman nggak pernah pacaran?"

Prima mengembuskan napas kesal. "Denger ya, Tuan Dimas Satya Wardana, di sana aku tinggal di asrama putri. Dan aku nggak terlalu berminat pacaran dengan western boy. I prefer oriental. Lebih perfect."

Satya menganga tak percaya. "Berarti aku perfect dong?" ucapnya polos.

Prima tertawa. "Narsis"

Satya menganga lagi. Bukan karena jawaban Prima melenyapkan gelembung-gelembung harapannya, tapi apa tadi? Gadis itu tertawa!

"Kamu ketawa, Prima!"

Prima mengernyit. Hah?

"Dan aku suka kamu ketawa," ucap Satya jujur, membuat Prima kembali tak menginjak tanah.

Prima menunduk, senyum simpul menghiasi wajah cantiknya. Dan itu pertama kali dia membiarkan dirinya jatuh terlalu dalam. Jatuh pada mata yang tak pernah dia prediksikan pesonanya. Dia sudah jatuh cinta terlalu dalam.

Satya mengusap pelan pipi Prima yang merona, tak menyangka, bahwa memenangkan hati gadis itu bisa semulus ini.

Prima menepis tangan Satya kasar. "Mobilnya udah bisa jalan. Cepetan!" seru Prima lantang.

Satya kaget, kemudian menatap Prima yang menunduk. Satya terkekeh pelan. "Kamu salah tingkah," ucapnya mengagetkan Prima.

Prima membuang muka. "Sok tahu!"

Satya kembali tertawa. "Atau kamu baru sadar bahwa kamu sudah jatuh cinta sama aku?"

Prima melengos. Pede sekali.

To Be Continued

You're My Perfume✅Where stories live. Discover now