Idola Kampus

21 2 0
                                        

Kampus

Prima memainkan jemari, gelisah. Pikirannya kacau saat melihat empat lelaki populer itu mulai dikerubungi adik kelas. Apa sih pesona keempat pemuda itu hingga membuat mereka begitu disukai?

Prima merasa sesak saat melihat tangan seseorang mengusap puncak kepala seorang perempuan.

"Kenapa kamu mandangin kami kayak gitu?"

Prima kaget dan menoleh ke samping. Sejak kapan Devan berada di sampingnya? "Bukannya kamu tadi di sana?" tunjuk Prima ke arah Rangga, Juan, dan Satya.

"Aku baru sedetik duduk di sini."

Prima menganga.

"Aku capek berdiri. Aku bilang aja aku mau nemenin kamu. Dan, fans-fansku malah pindah ke Juan dan Satya. "

Prima hanya tersenyum kecil menanggapi penjelasan Devan. "Ya udah, balik lagi aja ke sana. Fansmu bakalan ngerubungi kamu lagi."

Devan memandang Prima. "Aku capek. Masa kamu tidak dengar?"

Prima mendengus. "Kamu mau bilang, aku tuli gitu?"

Devan menyibak rambut Prima gemas. "Kamu sendiri yang ngomong gitu," ucapnya sambil tertawa.

Prima merapikan rambut sambil memandang Devan. "Liat tuh, fansmu pada cemburu sama aku. Nanti aku diteror lagi, kayak waktu itu."

Devan tertawa. "Eh? Aku udah memberi pencerahan sama mereka supaya nggak terlalu fanatik. Ya... kamu kan tahu aku idola yang baik."

Prima ternganga, tetapi sedetik kemudian tersenyum lebar karena Devan tertawa di sampingnya. "Ya ya ya, terserah deh," ujar Prima.

Devan dan Prima berpaling ke arah Juan dan Rangga yang meninggalkan kerumunan dan berjalan mendekati mereka. Prima tersenyum pada dua pemuda itu "Berduaan mulu. Eh, Gwen mana?" ucap Rangga. Matanya mencari keberadaan gadis itu.

Juan menyikut Rangga. "Pacaran mulu sama Gwen."

Rangga mendelik. "Emang salah aku nanyain dia?" Teman-temannya itu senang melebih-lebihkan hubungan mereka.

Devan tertawa mendengar ucapan Rangga. "Semua orang juga tahu kamu lagi mencoba berdamai dengan Gwen!"

Rangga menoyor Devan. "Sok tau!" ucapnya, meskipun hatinya mengakui kebenaran ucapan Devan.

Prima tersenyum mendengar percakapan teman-temannya. Mereka selalu seperti itu. Bertengkar dan berdebat. Bukankah seperti itu persahabatan yang sebenarnya? Bertengkar tapi tetap saling menjaga, berdebat tapi tetap saling memahami.

Prima kaget saat menyadari Satya duduk di sampingnya. Ia memandang pemuda itu sekilas, kemudian menyimak kembali perdebatan antara Devan dan Rangga.

Prima mengernyit saat tubuh Satya menjauhinya. Pemuda itu berjalan menjauh, menerima panggilan telepon. Gaya bicara Satya memang aneh, setengah berbisik-bisik, membuat Prima penasaran ingin mengetahui orang di seberang sana.

"Aku ke kelas dulu, males ngomong sama banci."

Prima menatap punggung Devan yang berjalan menuju pintu keluar ruang olahraga. Devan marah? Prima mengalihkan pandangan pada Rangga dan Juan.

Juan tersenyum. "Udah biasa Prima, dia marah-marah. Ntar juga baikan lagi kok," jawab Juan tenang.

Rangga mengangguk menyetujui.

Prima tersenyum tipis, kemudian mengangguk.

"Kami nyusul Devan dulu ya."

Prima mengangguk. Sesaat kemudian ia melangkah, ingin pergi juga. Matanya menyapu seluruh isi lapangan, terpaku pada Satya yang masih menempelkan ponsel di telinganya.

You're My Perfume✅Where stories live. Discover now