Salah Tingkah

23 3 0
                                        

Sengatan udara Jakarta membuat Prima ingin mandi.

Benar, ozon atmosfer menipis, apalagi setelah dia merasakan sinar matahari yang menyengat jaraknya hanya sejengkal.

Prima mengeluarkan buku tulis hitam, kemudian mengipas-ngipaskannya tepat di depan muka. Dia menunggu Satya sejak satu jam lalu, tetapi pemuda itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

Huh!

Sejak kapan Prima sering mengomel seperti itu?

Prima menoleh ke kiri saat mendengar suara mesin mobil melaju ke arahnya. Dia hafal suara mesin itu sehingga tanpa menoleh pun perkiraannya tepat seratus persen.

Satya menghentikan mobil di depan Prima. Dengan gerakan cepat dia keluar dari mobil, kemudian menatap Prima dengan perasaan bersalah. Kedua tangannya disatukan, kemudian dia letakkan tepat di depan wajah. "Sorry, Prima" ucap Satya sungguh-sungguh.

Prima hanya menatap dingin, tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangan ke segala arah. Yang penting tidak tertumpu pada mata Satya.

"Prima," panggil Satya.

"Ya udah, jalan aja yuk," jawab Prima pelan.

Prima tahu pemuda di sampingnya itu merasa bersalah, tapi juga tak menutupi kenyataan bahwa dia kesal. Iya dia kesal karena Satya selalu menomorduakannya gara-gara kecintaannya pada basket.

Apa dia tak cukup menarik? Huh!

Satya menghela napas, kemudian menginjak pedal gas mobil.

Sesekali dia melirik ke arah Prima yang masih terlihat kesal. Bahkan setelah lima menit perjalanan, Prima masih enggan memalingkan muka untuk menghadap ke arahnya.

Sebenarnya... ada apa dengan Prima? Kenapa akhir-akhir ini Satya merasa Prima sedikit manja padanya?

"Nggg... apa mau makan dulu sebelum pulang?"

Satya mendapat jawaban berupa anggukan. Si gadis tak menoleh sedikit pun.

Rupanya Prima lebih tertarik dengan pemandangan yang tak diduganya di kiri jalan. Mika terlihat berdiri, mungkin menunggu seseorang. Pandangan Prima mengeras. Ia membelai tangan kirinya yang masih diperban. Dia harus mengambil langkah cepat untuk menghancurkan Mika dan dayang-dayang berupa om dan tantenya.

"Prima..."

Kalau saja semuanya tak terjadi, Prima tak akan setega itu ke pada sahabatnya sendiri. Sahabat? Cih! Sahabat harusnya saling percaya, bukan malah saling menuduh. Tanpa sadar Prima terus menatap Mika dari kaca spion mobil.

Bahkan gadis itu tak mendengar Satya yang sudah memanggilnya lebih dari tiga kali.

"Prima..."

Prima tersentak. Kembali ke dunia nyata lagi. Ia menoleh, kemudian menatap Satya yang sempat menengok ke arahnya. Tatapan pemuda itu menyelidik, seolah ada yang salah dalam dirinya. Eh?

Apa? Bukannya dia sedang marahan dengan pemuda itu?

"Aku minta maaf, bener-bener minta maaf. kamu jangan seperti ini!" pinta Satya.

Prima ingin tertawa mengingat Satya jarang menampilkan ekspresi semacam itu kepada orang lain. Tiba-tiba ide jail untuk mengerjai Satya tercetus begitu saja.

Prima mendesah berat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Prima..."

"APA?" seru Prima keras.

Satya spontan menoleh ke arah Prima yang sepertinya gerah dipanggil terus-menerus. Tanpa mengurangi konsentrasi, tangan kiri Satya menggenggam tangan Prima.

Prima kaget bukan main karena merasakan darahnya mendesir hebat saat tangan Satya menggenggam tangannya. Dengan spontan ia menarik tangan, kemudian menoleh tidak percaya ke arah Satya.

"Apa?!, pegang-pegang sembarangan?!" sungut Prima kesal.

Satya mengangkat alis. Dia mengurangi kecepatan mobil karena di depan lampu menyala merah. Dia harus mencari cara agar Prima tidak marah Prima melirik Satya. Sepertinya pemuda itu kehabisan akal. Apa hanya segitu perjuangannya?

Prima kembali berpikir, sejak kapan dia mulai mengharap perhatian Satya? Sejak kapan perasaan asing itu muncul?

"Sudahlah, Prima. Jangan cemburu sama basket, please..."

Prima mengangkat alis. Cemburu? Basket? Jangan harap.

"Siapa yang cemburu?"

Satya mencondongkan badan ke arah Prima, kemudian tersenyum manis. "Kamu. Kenapa kamu sangat manja sama aku?"

Apa?

Prima mendorong tubuh Satya hingga terdengar bunyi "buk" karena badan Satya membentur kaca jendela. Spontan pemuda itu mengaduh pelan.

"Tidak usah bicara yang tidak-tidak," tanggap Prima, berusaha menormalkan detakan jantungnya yang semakin parah karena senyuman Satya tadi.

Prima tak habis pikir, sejak kapan senyum itu dapat meluluhlantakkan hatinya seperti ini?

"Kamu... salah tingkah," ucap Satya tertawa renyah. Sangat renyah hingga membuat telinga Prima mencandu mendengar tawa itu.

Prima mengerjap, tersadar. Dengan cepat dia membuang napas kesal. Cemburu? Salah tingkah? Siapa? Dia? Tidak sama sekali!

To Be Continued

You're My Perfume✅Where stories live. Discover now