Flashback On
Bandung
Hara POV
Malam ini sabtu malam, aku mematung di atas tempat tidur. Selimut warna cream membalut tubuhku, hangat. Kampung tempat tinggalku berada di lereng gunung, malam begini menyisakan suara jangkrik dan katak selain udara di luar yang dingin. Langit-langit kamar yang pucat memenuhi netra. Kemudian berguling ke kanan, ke kiri. Tak kunjung memejamkan mata, padahal besok aku harus bangun pagi-pagi dan kembali menjaga wartel.
Mengingat wartel seperti mengundang memori tentang pemuda asing yang bilang malam ini adalah jam kencan. Jadwal percakapan bersama kekasihnya yang berada di luar kota, ia tahu dari kode area nomor telepon yang aku telepon tadi. Aku melenguh, lalu membatin. Pasti lelaki itu sangat mencintai kekasihnya. Lalu apa dia bilang? Mengajak double date? Padaku yang tidak memiliki kekasih sejak lahir?
Seketika aku tertawa, menertawakan diriku sendiri lebih tepatnya. Ringan saja, karena bagiku, jomblo bukan nasib, tapi prinsip, yang ditanam ayah lewat nasehat-nasehat berkala yang menancap kuat padaku.
Selanjutnya aku beringsut bangun meraih ransel merah kesayanganku, mengaduk isinya. Mengabaikan rambut yang acak-acakan. Menemukan buku berwarna cream pemberian pemuda tadi. Pinjaman, lebih tepatnya.
Selain suka mendengarkan siara radio sejak memiliki radio, aku juga tidak buruk dalam hal membaca buku. Meski belum bisa dikatakan menjadi seorang book addict, tapi aku punya koleksi majalah-majalah di rak kecil di sudut kamar. Tidak banyak, ayah yang sengaja membelikan untukku agar aku tidak kesepian.
Sebelum akhirnya benar-benar terlelap setelah menuntaskan membaca buku, tanpa kuduga, senyum pemuda itu lewat begitu saja di kepalaku hanya untuk membuatku bertanya, apakah aku akan melihatnya lagi? Tapi untuk apa juga aku bertanya?
Flashback Off
***
Jakarta
Tina POV
Ini yang sedang kucoba lakukan, menghilangkanmu dari ingatan. Memercayakan segala resah kepada Tuhan. Kembali berbaik hati dengan perasaan. Mulai menyadarkan diri sendiri bahwa menjadi pilihan itu menyakitkan.
Pilihan yang hanya dicari ketika kamu membutuhkan hiburan. Pilihan yang hanya berguna ketika kamu dalam kesedihan. Pilihan yang sejujurnya tak ingin aku berdiri di barisan itu, tetapi tetap kulakukan dan berharap agar segala hal baik berpihak padaku.
Namun denganmu, hal baik itu berlalu. Tidak tersisa, bahkan tanpa kata. Aku kehilanganmu, lebih tepatnya adalah ketika kamu menendangkku dari deretan pilihan-pilihanmu. Jika saja saat itu aku memaksamu untuk mempertahankanku, mungkin aku tidak akan merasa kehilangan. Tapi, aku tetap menjadi pilihan yang dipertahankan sebagai hiburan, bukan yang dipilih sebagai tujuan masa depan.
Akhirnya, aku pun tersadar, berterima kasih padamu yang telah membuangku. Aku memang kehilangan kesempatan dalam membahagiakanmu. Tapi, aku mendapatkan hal baik di sisi lain hidupmu. Hal baik yang belum aku tahu isinya tapi sudah kuyakini, bahwa Tuhan pasti akan memberi. Jika tidak sekarang maka pasti suatu saat nanti.
Kelak, segala hal baik itu hadir di saat hati telah siap kembali menerima. Semuanya akan seperti semula ketika kehilangan dicermati dengan nama kepulangan.
Pulang yang membawa senang, bukan hanya kenang dari apa-apa yang pernah dibuang. Pulang yang melatih hatiku untuk tetap bertahan dalam ketegaran dan menunjukkan keadaan hati yang baik-baik saja. Pulang yang mungkin akan kembali kulakukan setelah kepergian, setelah kehilangan, setelah patah dan dalam keterpurukan.

YOU ARE READING
You're My Perfume✅
FanfictionKehidupan tiga saudara sepupu yang harus tinggal dalam satu atap, Satya, Rangga dan Juan. Mereka adalah ahli waris dari bisnis keluarga Wardana. Takdir membawa Satya bertemu dengan Rima, sikap dinginnya sempat membuat Satya kesal. Devan, sahabat Jua...