J | CH-04

10.9K 1.1K 24
                                    

Hermawan dan Jio membawa langkahnya memasuki sebuah taman kanak-kanak yang akan menjadi tempat Jio sekolah nantinya.

Jio memandangi sekeliling, nampak indah dimatanya. Ada prosotan dan ayunan yang belum pernah ia rasakan. Banyak anak-anak seusianya tengah berlari kesana kemari dengan seragam keren impian Jio.

Disela langkahnya, Jio mendongak menatap Hermawan. "Nanti Joni sekolah disini ya, yah?"

"Iya. Bagus, kan? Joni suka?"

"Suka banget," Jawabnya langsung. "Disini banyak banget temen-temennya."

"Joni harus jadi anak baik biar punya banyak temen."

"Siap ayah! Joni mau punya banyak temen."

Langkah kecil Hermawan akhirnya sampai di kantor guru. Guru yang tengah beristirahat itu pun langsung beranjak dan menghampiri Hermawan.

Guru perempuan itu melemparkan senyum ramah. "Kenapa, pak?"

Melepaskan genggamannya pada Jio, kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah. "Saya mau daftarin anak saya sekolah disini, saya udah bawa uang tiga ratus."

Jio terus menatap penasaran pada kawasan sekolah.

"Maaf pak?"

Hermawan menghembuskan nafasnya yang terdengar tak beraturan. "Anak saya mau sekolah disini, Bu guru, boleh tidak?"

"Oh, boleh, pak. Sudah membawa surat-suratnya?"

"Surat? Harus buat surat?"

Guru bernama Yulia itu tersenyum. "Bukan surat seperti lamaran, pak. Tapi kartu keluarga, KTP bapak, sama akta dari putra bapak."

Menggaruk belakang kepalanya, lalu menatap uang ditangannya. "Saya nggak punya, Bu. Kalau nggak pakai surat boleh nggak?"

"Wah, maaf, pak ... Nggak bisa. Itu memang persyaratan yang memang harus dilengkapi agar putra bapak bisa sekolah."

"Tapi saya nggak punya. Kalau nggak punya, nggak boleh sekolah disini?"

"Nggak cuma disini aja, pak. Dimana pun itu harus punya kartu keluarga, akta kelahiran anak, sama KTP orang tuanya buat daftar sekolah."

Hermawan berkedip pelan, kepalanya menunduk menatap Jio. Dilihat, anak itu tengah senang menatap setiap sudut sekolah tanpa terkecuali.

"Jadi nggak boleh?" Tanya Hermawan sekali lagi. Namun, yang didapat hanya gelengan dan senyum kecil dari Yulia.

"Bapak bisa melengkapi surat-suratnya lebih dulu, baru bisa daftar sekolah disini."

Jangankan akta kelahiran Jio, nama asli Jio saja Hermawan tidak tahu. Ulang tahun saja Jio tidak pernah dirayakan, yang terpenting, bertambah saja disetiap tahunnya.

"Yaudah. Tapi anak saya boleh ikut kesini lagi kan, Bu guru?" Hermawan sudah memberi harapan pada Jio bahwa anak itu akan sekolah ditempat ini. Tak tega jika tiba-tiba Hermawan melunturkan senyum senang itu. "Biarin anak saya ikut nyanyi-nyanyi sama gambar disini, nggak usah dikasih seragam juga gapapa."

Yulia belum merespon. Masih berpikir, jika ia menolak, bagaimana caranya menolak? Ia tidak setega itu. Tapi, jika Yulia menerimanya, Yulia seperti mengistimewakan anak malang ini.

"Gimana ya, pak––,"

"Yang penting anak saya bisa kesini tiap hari, ya, Bu? Saya bayar tiga ratus dulu. Yang penting besok anak saya bisa kesini lagi."

"Yaudah, gapapa. Tapi anak bapak nggak dapet seragam kayak yang lain, ya?"

"Iya, gapapa," Mengulurkan tiga lembar uang yang terlihat kusut karena Hermawan meletakkannya asal didalam saku.

Yulia tersenyum. "Nggak usah bayar, pak. Mending uangnya buat beli tas sama sepatu baru buat adeknya."

Senang rasanya jika bertemu orang-orang baik seperti Yulia, apalagi memperbolehkan Jio datang kesini mesikpun hanya sekedar ikut bernyanyi. Hermawan berharap, pria yang dulu menitipkan Jio padanya datang kembali dan membawa Jio. Memberikan Jio kehidupan layak yang belum pernah ia berikan untuk Jio.

***

Jarak antara sekolah dan rumah tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat. Hermawan dan Jio berjalan kaki. Anak berusia empat tahun itu tidak protes kalau kakinya pegal, kalau cuacanya panas, anak itu hanya diam dan menurut sembari mengenggam telapak tangan Hermawan dengan erat.

Lagian, bejalan jauh bukan hal baru untuk Jio.

"Beli tasnya dipasar aja, ya? Bugus disana."

Jio mendongak, lalu tersenyum. "Iya."

"Aku pengen deh, makan disana, yah. Pasti rasanya enak."

Hermawan menghentikan langkahnya. Menyipitkan kedua matanya agar tempat yang dipandangi Jio dapat terlihat jelas. Sebuah tempat makan yang menjual ayam goreng tepung. Tempatnya rapi dan bersih. Pantas saja Jio selalu memandangi tempat itu jika tidak sengaja lewat.

"Mau coba makan disana?"

"Boleh?"

"Boleh. Ayo," Keduanya berjalan pelan menuju tempat makan mewah menurut Jio itu. Karena guru tadi menolak uang yang Hermawan bawa, kali ini, untuk pertama kalinya Hermawan mengajak Jio untuk membeli makanan ditempat yang bagus. Terbukti dari ekspresi Jio tampak berseri-seri.

Setibanya disana, Hermawan hanya berdiri didepan tempat makan itu. Bingung bagaimana cara memesannya bagaimana.

Hermawan menatap sekeliling, ingin mencari orang baik yang berkenan membantunya. Ia bingung harus bagaimana. Rasanya juga asing berada ditempat seperti ini.

"Ah," Hermawan berjalan sambil menuntun Jio kearah seorang laki-laki muda dengan setelan kantornya tengah berdiri sembari memainkan ponsel mahalnya. "Den," Laki-laki itu mengangkat wajahnya, raut terkejut tak bisa ditutupi ketika melihat siapa yang memanggilnya.

"Saya boleh minta tolong bantu beli ayam disana nggak? Saya nggak tau caranya gimana. Saya bawa uang kok," Hermawan mengangkat uang tiga lembar merah keudara. Menunjukkan kalau ia tidak menipu anak muda ini, dan berharap anak muda tampan itu mau membantunya.

Anak muda itu belum menjawab, malah menunduk menatap anak kecil yang juga tengah menatapnya. Rasanya, kedua mata yang biasanya menatap orang lain tajam, kini berembun karena melihat anak berusia empat tahun itu.

"Den?" Menghela nafas. "Ayo Joni, kita cari orang lain yang mau bantu kita."

Saat kaki Hermawan baru mengayun satu langkah, Hermawan terkejut karena merasa genggamannya pada Jio ditarik paksa. Saat membalikkan badan, Hermawan semakin terkejut saat Jio berada digendongan anak muda tadi. Terlihat seperti orang yang tengah melepas rasa rindu.

"Eh? Anak saya turunin."

Anak muda itu menggeleng. Masih memeluk erat tubuh kecil Jio. Setelah beberapa detik, ia memberikan jarak, memandang wajah Jio yang terlihat berbeda. Jika dulu Jio memiliki kulit seputih susu dan kemerahan pada pipinya, kini berubah menjadi Jio yang memiliki kulit kecoklatan.

Niat hati beristirahat diluar dan mencari udara segar, tetapi malah dipertemukan dengan anak empat tahun yang selama ini menjadi semangat untuk berjuang dikota orang.

"Ayah," Jio membalikkan badannya kearah Hermawan dengan kedua tangan yang merentang. Orang tak dikenalinya ini kenapa tiba-tiba menggendongnya, tidak mungkin ia diculik, kan? ada Hermawan.

Hermawan langsung menarik Jio kegendongannya, sekuat tenaga Hermawan menahan bobot tubuh Jio agar tidak terjatuh.

Laki-laki tadi mengusap sudut matanya, kemudian menerbitkan senyuman manis kearah Hermawan dan Jio. "Nama saya Gara, pak."

"Iya iya, saya Hermawan. Kalau gitu saya mau cari orang buat bantu saya," Hermawan memutar badannya dan mulai melangkah menjauhi laki-laki bernama Gara itu.

"Pak, saya anak sulung dari orang yang pernah nitipin Jio ke bapak."

J1 [Completed]Where stories live. Discover now