J | CH-07

11.1K 1.1K 76
                                    

Martin Dewangga. Seorang pria berusia empat puluh delapan tahun, sekaligus ayah dari empat orang anak laki-laki. Tapi anehnya, Martin tidak menyukai anak kecil.

Dari anak pertamanya, Martin seperti ayah yang lepas tanggung jawab. Semua A-Z mendiang Tammy––istrinya yang mengurus. Martin tidak pernah membersamai pertumbuhan putranya. Dari tengkurap, merangkak, lalu berlajar berjalan, sungguh, Martin tidak peduli.

Namun, ketika putranya sudah berusia enam tahun keatas, Martin baru mau ikut andil dalam pertumbuhan sang putra. Bahkan melarang Tammy ikut campur.

Martin mengatur semua kebutuhan putranya.

"Siapa yang suruh kamu bawa anak itu kerumah ini lagi?" Tanya Martin dengan suara datarnya.

Saat tengah lelah karena bekerja seharian, Martin disambut dengan rengekan manja Joa yang mengatakan kalau Gara, kakaknya membawa seorang anak kecil. Gara juga membentak Joa hanya karna anak kecil tadi.

"Aku nggak peduli."

"Nanti dia cuma bisa ngrepotin disini," Karena Martin belum berniat mengambil Jio dari pria yang dititipinya dulu.

"Papa nggak usah ngurusin, aku yang bakal ngurusin Jio. Semuanya."

Tertawa mengejek. "Sombong heh?"

"Iya!" Jawab Gara dengan yakin. "Aku udah punya uang sendiri. Untuk kebutuhan Jio nggak ada apa-apanya buatku."

"Jio putraku––,"

"Emang papa ngurusin Jio? Manusia nggak punya otak."

Berdecak. "Yang penting papa punya rencana mau ngambil Jio lagi kalau udah bisa apa-apa sendiri, nggak ngrepotin dan nggak cengeng. Kamu tau kan, papa nggak suka sama anak kecil, apalagi masih bayi. Bisanya cuma nangis."

"Terus papa mau apa? Balikin Jio ke pak Hermawan dan biarin Jio nggak dapet pendidikan sejak dini? Pak Hermawan aja yang punya keterbatasan biaya masih berusaha buat sekolahin Jio, dia baik, pinter ngurus anak nggak kayak papa."

"Jangan bandingin papa sama pria tua itu."

"Aku nggak peduli. Kalau papa nggak suka ada Jio disini, aku bisa beli rumah buat kami berdua."

"Dan nggak boleh ada yang pergi dari rumah ini," Sahut Martin cepat. Lama-lama Martin geram dengan putra sulungnya ini. Membangkang, dan selalu menyombongkan hasil usahanya itu.

Gara bangkit dari duduknya, kemudian mulai menggerakkan kakinya menjauhi sang ayah.

"Gara!"

Gara tidak memperdulikan panggilan Martin.

"GARA!" Bersamaan dengan punggung Gara yang menghilang.

***

Saat hari sudah mulai gelap, Gara membangunkan Jio dengan cara mengusap pipi, dahi, lalu telinga Jio bergantian. Gara kira Jio akan terbangun setelah satu atau dua jam terlelap. Nyatanya, sampai matahari tenggelam pun Jio masih enggan membuka matanya.

Ibu jari Gara mengusap dahi Jio yang berkerut, anak itu mulai terganggu. "Adek," Panggilnya dengan nada lembut.

"Bangun dulu." Tubuh kecil itu menggeliat. "Adek, bangun, ayo, adek, bangun dulu."

Senyum Gara mengembang saat kedua mata Jio benar-benar terbuka. Berkedip pelan menyesuaikan cahaya lampu yang masuk.

"Mandi dulu, ya?"

Dahi Jio berkerut, menukik bersama isakan yang mulai terdengar. Jengkel karena dibangunkan.

"Stt ... Abis mandi boleh bobok lagi," Ujarnya sembari mengangkat tubuh Jio, membawanya kedalam kamar mandi. Semua berjalan mudah karena Jio tidak memberontak meskipun anak itu terus menangis.

J1 [Completed]Where stories live. Discover now