Dua hari sudah berlalu semenjak kejadian dimana Joa merobek boneka milik Jio. Anak ketiga dari keluarga dewangga itu memang sudah tidak bermain fisik selama dua hari ini.
Akan tetapi, sebagai ganti, Joa terus menjahili Jio sampai menangis. Entah diambil botolnya saat tengah menyusu, melempar boneka dipelukan Jio, atau bahkan sengaja duduk didepan wajah Jio. Bertujuan menghalangi agar Jio tidak bisa menonton tayangan kartun.
Rumah menjadi ramai karena tangisan Jio.
Helaan nafas terdengar dari si sulung. "Jo, balikin ah," Gara terus menepuk punggung Jio yang tengah menangisi botol dotnya. Lagi-lagi Joa menyita botol dot milik Jio tanpa alasan.
Joa hanya melirik Gara sekilas. Anak itu masih mengapit botol diketiaknya sembari menyantap sarapan paginya sebelum berangkat sekolah. Tidak peduli jika wajah adiknya sudah memerah dan berlinang air mata.
"Kamu mau nyusu juga, Jo? Nanti Abang beliin kalo mau," Yovan merasa kasihan melihat Jio. Padahal, Jio sudah rapi mengenakan setelan seragam sekolah TK-nya.
Joa meletakkan sendok keras piring, lalu menggoyangkan jari telunjuknya diudara.
"Jo, kasian adeknya."
Yovan sudah berada dibatas kesabarannya. Tanpa pikir panjang, Yovan mendekati Joa dan menarik botol berisi susu putih itu dari ketiak Joa dengan mudah.
Memberikan botol itu kepada Gara tanpa memperdulikan Joa yang tengah memekik tak terima.
Tangisan Jio langsung terhenti saat Gara menyumpal mulutnya menggunakan ujung dot.
Mendengar Joa terus merengek, Yovan mengangkat ponselnya. Memperagakan seolah-olah ia tengah merekam Joa. "Liat nih, ceweknya Joa. Dipikir-pikir lagi kalo mau sama Joa."
Spontan Joa langsung merapatkan bibirnya dan kembali menyantap makanannya dengan tenang.
"Naksir cewek dia?" Tanya Gara kepada Yovan sembari melayangkan tatapan jahil kearah Joa.
Joa melirik Gara kesal. "Nggak jelas."
Yovan kembali mengantongi ponselnya. Sembari mengambil sendok, ia tersenyum miring kearah Joa. "Abang sih nggak bisa bayangin gimana reaksi kress kamu pas tau kalo kamu nggak suka sama anak kecil," Menyuap nasi kedalam mulut. "Punya adek, kan?"
"Kok Abang tau?" Ujar Joa spontan. Joa langsung menutup mulutnya saat menyadari perkataannya. Secara tidak langsung, ia mengakui jika ia memang tengah menyukai sosok gadis berponi sekelasnya.
"Apasih yang Abang nggak tau, Jo. Kemarin minta duit buat beliin dia coklat aja Abang tau."
"Ih! Itu namanya pelanggaran––,"
"Lagu Jawa yang enak didenger itu?" Sela Yovan. Berniat menggoda adiknya.
"Abang!" Teriak Joa kesal. "Abang nggak menghargai privasi."
"Kenapa ribut-ribut."
Joa langsung menoleh kearah sumber suara. Begitu sang ayah sudah duduk di kursinya, Joa langsung beranjak dan menghampirinya.
"Papa, bang Yovan nggak menghargai privasi Joa."
Dahi Martin berkerut. Sedikit bingung, baru saja ia mendudukkan diri, Joa sudah berkata seperti itu.
Disisi Jio, anak itu tengah mengapit botol dotnya menggunakan satu tangan. Wajahnya ia dekatkan ketelinga kakak tertuanya.
"Mau kentaki," Bisik anak empat tahun itu begitu. Kepala Gara reflek bergerak karena merasa geli.
Menjauhkan wajahnya, Gara menatap adiknya. "Ayam?"
Mengangguk semangat. "He'em ... Ayam. Iyo mau ayam."
Gara mendudukkan dirinya dikursi. Meletakkan botol susu milik Jio keatas meja, lalu mengambilkan ayam yang dimaksud Jio.
Jio menerimanya dengan senyuman lebar.
"Sama-sama," Ucap Jio sebelum memasukkan ayamnya kedalam mulut.
Pagi ini, acara sarapan tidak lagi diisi dengan kenakalan Joa dan tangisan Jio. Mereka mengisi perut dipagi hari dengan tenang sebelum beranjak dan mulai beraktivitas.
***
Seperti saat hari pertama sekolah, Jio masih rewel saat Gara akan melangkah pergi. Lagi-lagi Jio membuang botol susunya kelantai karena merasa kesal.
Anak itu menjerit sekeras mungkin. Memeluk leher Gara dengan erat, tak membiarkan kakaknya meninggalkan ia lagi seperti kemarin-kemarin.
Gara mengambil botol susu yang baru saja Jio lempar. "Adek."
"Nggak mau sekolah, Iyo nggak mau sekolah sendiri," Tangisnya. Jio ingin seperti temannya yang lain. Saat jam istirahat, teman-temannya yang lain pasti akan dibantu orang tua mereka, entah ibu ataupun ayah saat menyantap bekal yang dibawa. Tapi kenapa Jio tidak?
"Hei ... Katanya mau pake seragam pilot, enggak jadi?"
"Jadi, tapi Iyo nggak mau sekolah sendiri, Iyo mau ditemenin juga."
"Kan ada Bu guru."
Jio memberikan jarak antara ia dan Gara, memperlihatkan wajahnya yang berlinang air mata kepada kakak sulungnya. "Kan Bu guru bukan Abang Jio."
Senyuman tipis tercipta dibibir yang lebih tua.
Melihat adiknya menangis saat ditinggal sekolah sendiri, Gara jadi berandai. Andai saja ibunya masih ada, pasti Jio tidak akan menangis seperti sekarang. Jio pasti akan dibuatkan bekal lezat yang Tammy masak sendiri, seperti saat ia masih kecil.
Sayangnya, Jio tidak dapat merasakan itu semua.
Gara mengusap air jejak air mata dipipi adiknya, Gara juga merapikan kembali rambut Jio. "Adek Abang ini anak pinter nggak sih?"
"Pinter," Sahut Jio dengan suara kecilnya.
"Kalo pinter mah, sekolah sendiri berani. Enggak nangis."
Mendengar itu, bibir bawah Jio maju beberapa senti. Rasanya ingin menangis lagi.
"Adek kan kemarin bilang mau pake baju pilot, iya kan?" Jio mengangguk kecil. "Abang cariin, tapi Abang mau minta imbalan."
Sontak Jio menatap wajah Gara. "Uang lima ribu?"
Terkekeh. "Abang minta adek berani sekolah sendiri hari ini, nanti Abang kasih hadiah baju pilot. Kalo perlu, Abang beliin mainan pesawat yang bisa adek naikin."
Tampaknya, si bungsu Dewangga mulai tertarik dengan penawaran Gara. Anak itu tampang termenung, bak orang dewasa yang tengah mempertimbangkan sebuah keputusan besar.
"Gimana?"
"Nggak mau sekolah sendiri," Ucap Jio pada akhirnya. Membuat Gara menghela nafasnya.
"Adek, adek tau Abang mau pergi kemana?"
"Emm ... Cari uang?"
"Cari uang buat siapa?"
Menunjuk dirinya sendiri. "Jio."
"Buat Jio, kan?" Dan Jio mengangguk semangat, anak itu menyengir kearah yang lebih tua. "Jadi, adek harus sekolah sendiri. Besok baru ditemenin Bibi. Adek setuju?"
Jio kembali menganggukkan kepalanya. Jio membawa satu tangannya kearah kemaluannya. "Mau pipis."
Alasan. Lagi-lagi Gara menghela nafasnya. Dari pengalaman kemarin, Gara tau jika Jio hanya alasan saja. Asalan tidak mau ditinggal.
Nyatanya, saat Gara membawa Jio ketoilet, anak itu hanya menyengir dan mengatakan kalau itu hanya kebohongan.
Jio mulai pintar mencari perhatian.
Dengan gemas, Gara mengangkat tubuh Jio dan menenggelamkan wajahnya diperut sang adik. Membuat tawa Jio langsung terdengar nyaring karena geli.
"Udah, udaaah," Pekiknya. Jio berusaha menahan kepala Gara. "Jio mau pipis beneran! Udah!"