J | CH-08

10.2K 1K 27
                                    

Terhitung sudah tiga hari Jio tinggal dikediaman Dewangga. Dan tiga hari ini juga, pasti Jio akan menangis karena tingkah Joa yang semakin menjadi.

Entah saat Jio meminum susu digendongan Yovan seperti kemarin, tiba-tiba Joa memanjangkan tangannya untuk mencubit betis Jio. Menekan kuku panjangnya dengan sengaja. Jio sampai tersedak karena terkejut, karena anak itu sudah memejamkan mata bersiap menjemput mimpinya.

Terkadang juga Joa dengan usilnya, seperti semalam. Saat melaksanakan makan malam, Joa melempar ayam goreng tepung kearah Jio yang kebetulan duduk disebrangnya, hingga mengenai mata Jio dan memental keatas meja.

Jio menangis kencang semalam, ditenangkan Gara, tapi malah berakhir tertidur. Jio terpaksa melewatkan makan malamnya akibat menangis.

Joa dan rasa cemburunya.

Gara sampai pusing harus mengatakan bagaimana lagi supaya Joa diam tak menganggu Jio. Bukan membatasi interaksi kedua adiknya, tapi jika sikap Joa berani main tangan seperti itu, Gara hanya takut kedepannya Joa lebih parah lagi menyakiti Jio hanya untuk mencari perhatian.

"Jangan diemut terus nasinya," Ujar Gara pada Jio yang duduk dipangkuannya.

Saat ini, keluarga Dewangga tengah melaksanakan sarapan. Menyantap makanan lezat masakan Nia—asisten rumah tangga keluarga Dewangga. Nia sendiri sudah bekerja selama tiga tahun ini.

Jio mendongak menatap Gara, lalu menyengir hingga menampilkan nasi didalam mulutnya.

Sejak dilempari Ayam goreng oleh Joa, Jio enggan menyantap makanannya menghadap meja. Jio memunggungi semua makanan lezat yang sudah tertata dan memilih menghadap kearah dada Gara. Jujur, dalam diri Jio, Jio takut jika nanti Joa melemparinya ayam lagi.

Itu, teras perih. Apalagi remahan kecil dari tepung berhasil masuk kedalam matanya.

"Dek, berani nggak sekolah sendiri?" Suara bernada jenaka Yovan terdengar bertujuan untuk bertanya. Sedikit menggoda adik bungsunya karena hari ini akan sekolah pertama kali disekolah taman kanak-kanak.

Gara tetap mengantar Jio, tapi tidak menunggunya sampai Jio selesai. Gara tetap harus bekerja agar dapat membiayai Jio. Martin benar-benar tidak mau keluar uang sepeserpun untuk Jio.

"Berani!"

Memasang ekspresi berpikir. "Kalo hari ini nggak nangis disekolah, Abang kasih hadiah."

"Hadiah ulang tahun?"

"Bukan. Hadiah karna adek berani sekolah sendiri."

Tangan kiri Jio menggantung, terulur kearah Yovan yang memang duduk disamping Gara.

"Salim," Suara anak empat tahun itu terdengar.

Dengan tawa kecil yang terdengar, Yovan menerima uluran tangan Jio. Mengenggamnya sembari menggerakkan pelan keatas dan kebawah, lalu mengecup punggung tangan sempit sang adik.

"Yang adil, bang," Ujar Martin. "Kalo Jio dibeliin hadiah, Joa juga dibeliin. Biar adil."

Yovan menegakkan badannya, mengaduk nasi dipiring dengan sorot mata sinis menatap Martin. "Aku mah adil sama adek-adekku, satu dibeliin, yang satu juga tak beliin. Emang papa? Nggak suka anak kecil gegayaan buat anak."

"Yovan," Desis Martin geram.

"Buat anak emang enak, pa ... Tinggal keluar-masuk dah, jadi—,"

"Yovan!" Sentak Gara dengan suara pelan. Sebenarnya sih tidak apa-apa Yovan mencecar ayahnya, Gara malah suka karena semua unek-uneknya terwakilkan Yovan. Tapi, masalahnya Jio menatap Yovan seolah merekam kata-kata yang didengarnya, anteng dan memperhatikan dengan sangat.

J1 [Completed]Where stories live. Discover now