Dua

251 6 0
                                    

“I iya, aku … hamil.”

Semua menganga tak percaya, apalagi Sansan yang berpikir perempuan itu lugu dan polos. Seketika dadanya dipenuhi amarah. Gila! Dia harus bertanggung jawab untuk benih kembarannya yang kepa*rat?

Tanpa kata Sansan berbalik dan melengos pergi. Ange mengejarnya, meski sempat ditahan Ikhsan.

“Kak, tunggu, Kak!” Ange berdiri di depan pintu mobil. Menjegal lelaki yang hendak memasuki sedan hitam itu.

“Minggir.”

“Denger, Kak.” Sesaat Ange melirik ke arah pekarangan rumah. Ikhsan maupun Risda masih berdiri di teras, tampak sedang berdebat.

“Minggir!”

“Gak, Kak! Denger, Kak, Aku gak hamil, Demi Allah, aku gak hamil.” Ange terengah, tatapannya sesekali mengarah teras. “Ciuman aja cuma sekali, itu juga dipaksa Angga, Kak. Aku sampe mau putusin dia, cuma dia gak mau. Sumpah, Kak. Demi Allah, Kak.”

Beberapa detik Sansan terdiam, lalu mengusap wajah dan kembali membisu menatap perempuan setengah gi*la di hadapannya.

“Aku ….” Ange menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. “Bang Ikhsan, kan, pasti ngijinin kita nikah kalo taunya … emh, aku hamil. Ya, kan?” Dia tersenyum memamerkan gigi.

Sorot mata perempuan berlesung pipi itu nanar, tampak jelas tidak sejalan dengan senyum di bibirnya, Sansan tahu dia hanya berusaha tersenyum. Tidak terpikir juga olehnya, sedangkal apa pemikiran Ange hingga membuat dua keputusan gi*la dalam waktu beberapa jam saja?

“Lu yakin mau kawin sama gue?” Lekat Sansan tatap perempuan membingungkan itu.

“Emh, nggak sih, Kak. Tapi ….” Ange menelan sisa ucapannya. Sudah terlalu lelah dia jadi beban yang kerap memantik pertengkaran kakak dan iparnya. Belum lagi teror Angga yang terbayang dengan jelas di kepalanya. Berkali-kali Ange mencoba mengakhiri hubungan dengan lelaki itu, tetapi selalu gagal karena Angga tidak pernah membiarkannya. “Aku ….”

“Lupain kalo gitu.”

“Ih, Kak!” Secepat kilat Ange mencengkeram pergelangan tangan Sansan. “Aku yakin, Kak.” Setetes bening jatuh dari sudut matanya.

Meski tidak pernah berbincang sekalipun dengan Sansan sebelumnya, juga hanya bertemu beberapa kali saja, tapi melihat sosok Sansan ketika mengobrol dengan Fumiko, Ange menilai kalau lelaki itu lebih baik dari Angga. Sansan terlihat patuh dan sangat menyayangi ibunya jika dibanding Angga, pikir Ange. Belum lagi, kenyataan dia berani mengambil komitmen pernikahan dengan Sarah, tidak seperti Angga yang selalu menolak ketika Ange minta dinikahi dengan alasan belum siap. Putus tak mau, menikah pun enggan.

“Aku yakin, Kak.”

Cukup lama Sansan terdiam. Benaknya masih ragu meski sempat berani mengambil keputusan gi*la untuk menikahi perempuan yang akalnya mengherankan itu.

“Kak?” Ange menggoyangkan tangan Sansan yang sejak tadi dicengkeramnya.

Sansan menelan ludah berat. “Jujur dulu sama kakak lu, gue gak mau lu ngibulin dia.”

“Tapi, Kak ….” Belum sempat Ange menyelesaikan ucapan, Sansan menyeretnya kembali ke hadapan Ikhsan.

Akhirnya, mau tidak mau Ange mengatakan yang sebenarnya, termasuk kejadian Angga dan Sarah di dapur, tentu setelah mereka semua duduk di ruang tamu. Selanjutnya, dia memaksa Ikhsan menerima lamaran Sansan.

“Udahlah terima aja!” Risda mendelik ketus. “Bagus biar gak nyusahin terus kerjanya.”

Ange berpaling sembarang merasakan pelupuk matanya menghangat, lalu kembali menatap Ikhsan setelah menyeka bulir basah itu. “Aku bakal tetep kuliah, Bang. Janji,” katanya lirih.

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now