Empat Belas

114 14 1
                                    

Di dalam mobil yang terparkir di depan kampus Ange, Sansan membisu. Tatapannya menerawang jauh. Sangat jauh. Perbincangan singkat dengan Ikhsan meninggalkan bekas di benak juga pikirannya. Bekas yang dia yakin tidak akan pernah hilang meski dijajah waktu.

Sisa harinya di toko dirampas raut wajah Ange yang diliputi kekecewaan. Sansan tidak tahu bagaimana mengembalikan keceriaan di wajah perempuannya, karena jika berkaca dari yang sudah-sudah, semakin bicara, dia malah kian terperosok ke dalam situasi lebih runyam. Apapun yang dia katakan pasti salah.

Napas Sansan tertahan saat menoleh dan melihat Ange sedang menghampiri bersama seorang perempuan lain yang berambut panjang sedikit pirang. Dari ciri-ciri yang diceritakan Ange, Sansan tau itu Susan. Istrinya melambaikan tangan pada Susan, kemudian memasuki mobil.

Sansan berdehem melihat raut istrinya masih seperti tadi pagi. Sepanjang perjalanan dari ruko sampai ke kampus, kepalanya sibuk menyusun kata demi kata untuk disampaikan pada Ange. Namun, sekarang semuanya buyar, berlarian entah kemana.

“Gimana kuliahnya?” Akhirnya hanya itu yang sanggup keluar dari mulut Sansan.

“Gak gimana-gimana,” jawab Ange singkat.

Mobil melaju. Sepanjang perjalanan Sansan terus menimbang-nimbang hendak bertanya atau mengatakan apa pada istrinya yang hanya diam. Namun, hingga mereka sampai tidak satu kata pun dia rasa tepat. Sansan bingung setengah mati.

Tanpa kata mereka menaiki tangga dan memasuki ruko. Ange menggantung tas dekat lemari, lalu beranjak ke kamar mandi. Sansan masih berdiri di ambang pintu, memerhatikan setiap gerak-gerik istrinya yang sekarang baru keluar dari kamar mandi dengan wajah dan sebagian rambut basah.

Menyadari Ange hendak shalat Maghrib, Sansan bergegas mengambil wudhu. Akan tetapi, ketika selesai malah didapatinya Ange sudah mulai shalat. Akhirnya, dia shalat sendiri.

Dua insan itu terpasung dalam kebisuan sangat lama. Si pendiam tidak pernah menemukan cara untuk membuat istrinya sudi bicara. Sepanjang waktu dari mulai Ange memasak, lalu bersama-sama menyantap makan malam, sampai selesai membereskan meja juga dapur, dilalui dalam keheningan. Mereka seperti orang asing yang kebetulan terkurung di satu ruangan.

Kini, Sansan beristirahat di tempat tidur dengan posisi setengah berbaring. Dia terus mencuri-curi pandang kepada istrinya yang sedang duduk di depan tumpukan buku-buku tebal farmasi. Sesekali jari-jemari perempuannya menari di atas keyboard laptop meski matanya terpaku ke lembaran-lembaran buku.

“Banyak tugas, ya?” Sansan memberanikan diri. Ange hanya mengangguk.

Kembali hanya keheningan yang menjamah ruangan itu, hingga hampir dua jam berlalu. Ange beranjak membereskan buku-buku kembali ke rak, menutup laptop, dan memasukkan sebagian buku ke tas. Setelah itu dia bangkit, Sansan langsung bergeser ke samping, mengira Ange akan naik ke tempat tidur. Sayang, istrinya malah ke dapur. Sansan menghela napas dalam.

Lagi-lagi Sansan hanya bisa diam sambil mencuri-curi pandang ke arah dapur, memerhatikan istrinya yang entah sedang membuat apa. Dia benci Ange berisik, tapi ternyata diamnya malah tidak lebih baik.

Sansan membuka akun sosial media Spectrum, lalu melihat-lihat profil istrinya. Ada postingan yang baru dikirim sore tadi.

Tidak semua cinta mudah dimengerti. Mencintaimu mudah, mencintaiku pasti sulit. Aku mengerti ♥

Kalimat yang mengiringi foto Sansan yang sedang fokus di depan komputer. Entah kapan Ange mengambil fotonya, Sansan tidak sadar.

Helaan napas panjang mengiringinya menaruh ponsel kembali. Sansan melirik dapur, Ange tidak ada. Dia lekas beranjak mencari dan menemukan istrinya sedang duduk di lantai, terhalang rak dan meja kompor. Perempuannya itu sedang mengunyah fruit sando. Di hadapannya tergeletak piring yang masih teronggok sepotong sandwich krim dan buah khas Jepang itu.

Obsesi Adik IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang