Enam Belas

108 11 3
                                    

Dulu, Sansan kuliah di jurusan desain visual. Jam kuliahnya terbilang santai, sehingga menyaksikan bagaimana Ange kuliah sekarang membuat dia menggeleng. Berangkat pagi pulang sore sudah seperti kerja rodi, belum lagi tugas yang menumpuk.

Di depan layar komputer, dia membayangkan Ange yang sudah jadi seorang apoteker. Wajah istrinya lebih cocok jadi model atau bintang iklan, tapi dia tidak ingin itu terjadi. Jadi apoteker lebih baik, pikirnya.

Merasa penat terus terpaku di layar komputer, Sansan beranjak keluar dari ruangannya yang pengap. Sesaat dia melirik penunjuk waktu yang jarum pendeknya berada di angka sebelas.

Dua perempuan yang merupakan pelayan toko, langsung berdiri saat melihat Sansan keluar dari kandang dan melangkah menghampiri mereka. Jarang-jarang bosnya keluar kecuali jika tiba waktunya makan siang. Namun, Sansan tidak mengatakan apapun, malah beranjak memasuki area dalam sekat etalase yang memisahkan tempat pegawai dan pelanggan.

Sansan menarik satu di antara empat bangku bulat single dengan kaki-kaki besi tinggi, sedikit menjauh dari dua pelayan toko itu, lalu duduk menopang dagu di etalase. Dua perempuan yang merupakan pegawainya saling bertukar pandang.

“Tumben,” bisik salah satunya, yang lain langsung mengangguk.

Meski mendengar bisik-bisik pegawainya, Sansan tidak menggubris. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana yang kemudian dibakar dan dihisapnya dalam-dalam. Matanya melirik gitar yang bersandar di tembok dekat counter desainer komponen PCB.

“Punya siapa, tuh?” tanyanya.

“Dia, Mas Bos.” Salah satu pelayan toko yang berambut kuncir kuda menunjuk seorang desainer yang sedang fokus di depan layar komputer.

“Bawa sini.”

Tanpa babibu, salah satu dari mereka langsung mengambil gitar itu dan memberikannya pada Sansan. Suara petikan senar mulai mengisi ruangan toko yang memang sedang sepi pengunjung. Hanya ada tiga orang yang sedang sibuk di depan para desainer.

Jari jemari Sansan pandai membuat senar-senar gitar itu mengalun indah, memanjakan setiap telinga yang mendengar. Sesekali bibirnya bergumam pelan menyenandungkan lirik lagu, mengiringi alunan petikan nada.

Si pelayan yang berambut kuncir memandangi Sansan sampai tak berkedip. “Ya ampun, Mas Bos, kenapa gak nikahin saya aja coba?”

“Heh!” Langsung saja yang satunya mendorong kepala perempuan itu. “Sarap si Hasna!”

Sansan menoleh. Jari jemarinya berhenti memetik gitar.

“Maaf, Mas Bos, si Hasna emang rada sinting.” Raut wajah perempuan yang berambut ikal langsung menyiratkan rasa bersalah. Sementara temannya malah tersipu malu.

“Dia Hasna?” Telunjuk Sansan mengarah perempuan yang dikuncir.

“Iya, saya.” Hasna langsung mengangguk.

“Lu Lisma berarti?” Sansan menunjuk yang satunya. Lisma langsung mengangguk. “Oke.”

Hanya ada dua pegawai perempuan di tokonya. Sansan tahu nama mereka Lisma dan Hasna dari nomor rekening saat mengirim gaji, tapi tidak tahu pasti nama mana untuk wajah yang mana. Baru hari ini dia tahu, setelah hampir satu tahun mereka bekerja untuknya. Selain karena mereka pegawai dari pemilik lama, Sansan tidak pernah melakukan pengenalan resmi pada satu persatu dari pegawainya.

“Betah kerja?” tanyanya kemudian.

Keduanya serempak menjawab betah, lalu Hasna sendiri menambahkan, “Gajinya gedean sama Mas Bos dari bos yang dulu.”

“Jam kerjanya juga,” timbrung Lisma, “Dulu sampe jam enam, Mas Bos. Sekarang cuma sampe jam empat.”

“Oke.” Sansan bangkit dari bangku, lalu menyerahkan gitar kepada Lisma. “Kalo gitu gue kurangin gaji, terus tambah jam kerja,” tandasnya, kemudian melengos begitu saja ke arah luar.

Hasna dan Lisma langsung panik dan bertanya-tanya, apa kesalahan yang mereka lakukan? Apa karena candaan Hasna? Dua perempuan itu tidak tahu kalau Sansan hanya iseng, karena raut dingin lelaki itu sama sekali tidak menyiratkan adanya candaan sama sekali.

Sansan mengambil minuman dingin bersoda dari chiller di kios yang berada di samping toko. Setelah membayar dia melangkah kembali ke toko, yang kemudian dihentikan kedatangan sosok Ikhsan. Iparnya itu sedang memarkir kendaraan roda dua di area parkir toko.

“Ngambil pesenan kemaren?” Sansan menghampirinya.

Ikhsan mengangguk sambil melepas dan mengaitkan helm di spion. “Saya mau ngobrol, Mas.”

Mereka melangkah beriringan memasuki toko, lalu duduk berseberangan terhalang etalase. Tanpa basa-basi Ikhsan mengajukan keberatan karena kemarin, Roy meloloskan bon pembayaran pesanannya atas perintah Sansan.

“Selain deket, order di sini juga cepet dan jarang ada yang cacat, Mas. Kalo gini, saya jadi sungkan balik lagi.”

“Oke.” Padahal, jumlah pesanan Ikhsan tidak seberapa, pikir Sansan. Dia lalu beranjak ke ruangannya, lalu kembali setelah beberapa lama membawa dua lembar kertas yang langsung diberikan kepada iparnya. Dia lalu memanggil Lisma dan memintanya membuatkan bon normal untuk Ikhsan.

“Ini apa, Mas?” tanya Ikhsan, setelah membaca lembaran yang diberi Sansan.

“Itu koneksi beberapa perusahaan yang butuh jenis jasa lu, sama surat rekomendasi dari gue. Lu coba masukin aplikasi, lumayan buat nambah-nambah orderan.”

“Ini ….”

“Mau lu tolak lagi?”

“Nggak, Mas.” Cepat Ikhsan mengelak. “Makasih.”

“Ya.”

Cara bicara yang tegas dan simpel, bahasa tubuh, sampai gaya sederhana Sansan jauh berbeda dari Angga. Dalam diamnya Ikhsan menilai. Ketika Angga sering kali bicara tinggi soal siapa dirinya, Sansan sebaliknya. Bahkan, identitas sebagai pemilik toko pun tidak didengarnya dari mulut si ipar sendiri. Masih jelas dalam ingatan Ikhsan, bagaimana Sansan hanya mengangguk saat ditanya, apakah sedang sama-sama mengorder. Selain itu, iparnya juga tidak bicara langsung saat berniat meloloskan bon, malah melalui Roy.

“Mas Bos.” Hasna yang memajang wajah sedih mengalihkan perhatian dua lelaki itu. Di belakangnya, berdiri Lisma yang memasang raut tak kalah menyedihkan. “Apa tadi saya salah ngomong, Mas Bos?” tanyanya memelas. “Saya cuma bercanda tadi,” jelasnya kemudian.

“Gue juga.” Singkat saja Sansan menjawab.

Mata Hasna membulat. “Maksudnya … Mas Bos bercanda?”

Sansan mengangguk.

“Tuh, bercanda, Pea!” Hasna menoyor kepala Lisma yang langsung memberi balasan sama. Sesaat mereka saling bersungut-sungut, kemudian tersenyum-senyum berpamitan pada Sansan juga Ikhsan. “Kakak Neng Bos, eh, Mbak Bos, salam dari Lisma. Masih single, gak, katanya?” Hasna terkikik geli, lalu melengos. Lisma mengejarnya sambil bersungut-sungut karena merasa malu.

Sansan dan Ikhsan bertukar pandang. “Cowok boleh empat, Bro,” cetus Sansan.

“Satu juga ampir sawan saya, Mas.”

“Sama.”

Untuk pertama kali saudara ipar itu tertawa bersama. Suasana kaku di antara mereka sejak pertemuan pertama mencair begitu saja. Kini, mereka mulai berhadapan layaknya sesama lelaki.

Setelah menyelesaikan urusannya, Ikhsan pamit. Sementara Sansan kembali ke ruangannya untuk lanjut menggarap video dengan khusyuk. Kekhusyukan yang kemudian diganggu nyaring dering ponsel. Kontak Fumiko yang muncul di layar.

“Kamu ke rumah sekarang, Sans. Penting!” Langsung saja suara Fumiko yang terdengar tegang menyerang telinga Sansan.

“Kenapa?”

“Hayaku kite! Ōku wanai.”

Untuk sejenak Sansan terdiam. Dia memejam beberapa detik sambil menghela napas panjang, kemudian beranjak meninggalkan toko.

***

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now