Tiga Belas

119 13 2
                                    

Pagi yang dimulai dengan baik, nyatanya tidak berlanjut baik. Banyak hal yang mengganggu pikiran Ange setelah kejadian di ruko tadi. Benaknya diliputi kebingungan dan ketidakmengertian yang tidak sanggup akalnya capai. Dia takut, tapi tidak mengerti apa yang ditakutkannya itu.

Kejadian tadi mengukuhkan perbedaan di antara dirinya dan Sansan. Sekali lagi, perbedaan yang sulit akalnya terima. Kenapa manusia satu sama lain harus sangat berbeda? Dia benci itu.

Diliriknya Sansan yang sedang memaku pandang di layar komputer. Tampak biasa, seolah-olah tidak terjadi apapun.

“Kakak gak kepikiran kejadian tadi?”

Sansan bergeming beberapa detik, lalu merogoh rokok di saku celana, menyulut, dan menyesapnya.

“Sebelumnya aku cuma liat orang-orang yang hidup bebas itu di film Jakarta undercover, atau film-film bule,” tuturnya, menerawang. “Aku gak nyangka hari ini ngeliat cewek yang berusaha nipu satu cowok, karena cowok lain. Aku malah masih ngerasa … nyata atau nggak ini, soal kehidupan Kakak, Ang … si setan, kehidupan kalian semua kayak gak nyata. Terlalu ribet rasanya.”

Jika pun tidak terhalang agama karena minim ilmu, apakah mereka tidak memikirkan hukum sebab-akibat sebelum bertindak? Tidak tersentuh akal Ange sama sekali. Kehidupan harusnya sederhana.

“Kakak yakin mantan Kakak gak ada yang pernah hamil atau punya anak dari Kakak?”

“Ya.”

“Gimana bisa seyakin itu? Kakak gak takut? Gimana kalo suatu hari ada yang tiba-tiba dateng bawa anak, terus bilang itu anak Kakak? Gimana?”

Sansan memutar kursi ke hadapan Ange. Ditatapnya perempuan sejuta tanya itu lekat-lekat. Hanya menatap. Tanpa kata.

“Itu berlebihan, aku tau.” Ange berpaling. “Tapi ….”

“Gak cuma berlebihan, kamu juga gak punya pendirian, Nge.” Punggung Sansan mendarat pelan di badan kursi. “Kamu selalu berubah-ubah. Kamu tau, setengah mati saya selalu coba ngertiin kamu?”

Bahkan, untuk menerjemahkan kosakata perempuannya itu saja Sansan sering dibuat pusing, ditambah harus memahami maknanya, belum lagi mood-nya yang bisa berubah dalam hitungan detik, juga sikap-sikap sulit ditebak lainnya. Sansan kerap didera kebingungan, hingga tidak bisa menentukan cara yang tepat menghadapi sifat istrinya itu. Kali ini, dia tidak tahan lagi. Barangkali akibat emosinya yang belum kembali seperti semula setelah nyaris dipecundangi Sarah tadi.

“Kamu takut Sarah hamil anak saya? Itu, kan?” Nyaris tak berkedip dia tatap perempuannya. Suaranya dingin sedingin sorot matanya. “Panjang lebar kamu ngomong, intinya itu, kan?”

Ange berpaling dalam kebisuan. Dia meringkuk memeluk lutut di kursi. Susan sering mencemooh dirinya seperti bayi cengeng yang tidak punya pendirian. Ikhsan selalu bilang kalau hanya tubuhnya saja yang tumbuh besar, tapi tidak dengan kepalanya. Angga pernah bilang, kalau dirinya dungu dan hanya kebetulan bisa masuk jurusan farmasi. Kini, Sansan bilang dirinya berlebihan juga tidak punya pendirian. Semua benar, Ange tidak bisa mendebat karena bahkan, dia sendiri pun tidak pernah mengerti perasaan juga pikirannya.

Seperti kali ini, setelah kedatangan Sarah ada sebuah rasa menelusup ke dalam benaknya. Rasa yang membuatnya tidak tenang. Rasa yang mengganjal hingga membuatnya sesak. Rasa yang entah apa, juga bagaimana cara menghilangkannya. Rasa yang tidak bisa dibicarakan karena bahkan, dia tidak mengerti. Mungkin benar, dirinya hanya perempuan dengan isi kepala yang tidak pernah tumbuh dewasa atau bisa jadi dungu seperti kata Angga, hingga dia kesulitan walau untuk sekadar menerjemahkan perasaannya sendiri.

Ange beranjak perlahan dari kursi, lalu meraih tas selempang besar berbahan kanvas di meja. “Aku berangkat ke kampus dulu, Kak.” Dia seka wajahnya yang basah.

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now