Lima

182 5 0
                                    

“Ih, lucu.” Mata Ange membulat. “Nih nih!” Dia melayangkan genggaman berisi kecoa kepada Sansan.

“Heh!” Sansan melompat ke samping tempat tidur, bersiap meraih kenop pintu menuju balkon. “Buang!”

Sambil tertawa Ange melengos ke kamar mandi. “Cemen banget.”

Saat kembali dari kamar mandi setelah membuang kecoa ke closet dan mencuci tangan, Ange mendapati Sansan sedang mengenakan singlet putih, bagian bawahnya sudah dibungkus boxer abu. Ange duduk di salah satu dari tiga tong yang mengitari meja. Tidak ada kursi di sana, dia pikir tong-tong itulah tempat duduknya, dan memang benar.

“Makan, Kak.”

Tanpa memberi tanggapan, Sansan duduk berseberangan dengan Ange, lalu mulai makan.

“Emh, Kak.”

Sansan tidak menoleh dan fokus pada paper box berisi nasi dan lauk.

“Kulkas gede gitu, kok, kosong sih? Sayang listrik, kan?” Ange melirik lemari pendingin besar dengan empat pintu yang berdiri kokoh di samping pintu kamar mandi.

Perhatikan Sansan tidak teralihkan sedikit pun, seolah-olah suara Ange hanya hembusan angin.

“Gak ada alat masak juga. Sayang padahal dapurnya bagus, Kak. Kompornya juga.” Dapur Sansan bergaya modern minimalis yang didominasi warna putih.

Masih belum ada tanggapan dari Sansan.

“Aku suka masak, Kak.” Ange mendesah lesu. “Di rumah Abang, aku gak pernah diijinin masak, padahal masakan aku enak, loh, Kak.” Penuh harap ditatapnya Sansan. “Temen aku sampe nyaranin aku bikin channel YouTube. Katanya, masakanku lebih enak dari mamanya.”

Sansan masih bergeming.

“Aku ….” Ange berdehem. “Aku pernah coba mau bikin channel YouTube, Kak. Tapi baru aja mau mulai masak udah kena omel Mbak Risda. Katanya buang-buang bahan, ngotor-ngotorin dapur.” Dia menyuap sesendok nasi dan lauk. Mengunyah beberapa saat lalu menelan dengan sangat cepat. “Padahal, tiap hari aku yang beres-beres, nyuci, cuci piring, beresin dapur juga. Mbak Risda ngomel-ngomel aja kerjanya. Aku ga ….”

“Lu ngomong panjang lebar, intinya apa?” Akhirnya pandangan Sansan beralih pada Ange.

Ange merengut. Dia menunduk, lalu ogah-ogahan menyuap dan mengunyah. Dia menunggu Sansan bereaksi, tapi bukan seperti itu. Bukan dengan tatapan dingin dan nada sinis seperti itu.

“Heh!”

Ange tersentak. “Itu … Kak. Aku ….”

“Ngomong yang bener.” Sansan beranjak ke dapur lalu mengeluarkan teko kaca dari lemari pendingin. Dia mengambil dua gelas dan mengisinya, kemudian kembali ke meja. “Nih, minum.” Salah satu gelas ditaruh di depan Ange.

“Makasih, Kak.” Dengan gerakan penuh keraguan Ange mengambil gelas itu, lalu meminum sedikit isinya.

Selesai makan, Sansan beranjak ke tangga luar, lantas menyulut sebatang rokok dan duduk berjongkok di ambang pintu. Ange membereskan meja, lalu shalat Isya.

“Apa Kakak kayak Angga, gak pernah sholat?” Sambil melipat mukena Ange melirik Sansan yang kini sedang bersantai dengan posisi setengah berbaring di tempat tidur.

“Jangan sebut-sebut nama dia.” Tanpa menoleh Sansan membalas. “Gue sholat. Sholat Jum'at paling. Si setan tata cara sholat aja mana tau!”

“Tetep aja sama. Sama aja bo'ong kalo sholat Jum'at doang.”

Sansan mendengkus kasar sambil bangkit sekaligus. Ange tersentak, matanya menghangat. Beberapa saat mereka saling menatap, sampai kemudian Sansan melengos ke kamar mandi dan kembali setelah berwudhu. Dia menggelar sajadah dan mengenakan sarung yang diambil dari lemari.

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now