Tujuh

144 8 1
                                    

Mengukuhkan suatu keterikatan memang bukan hal mudah, terlebih untuk ikatan pernikahan. Dengan latar belakang yang jauh berbeda dan minimnya pengetahuan tentang satu sama lain, juga cara bersatu yang tidak biasa, Sansan dan Ange melewati awal pernikahan mereka dengan sangat berat. Dengan keterkejutan mereka akan pribadi masing-masing yang di luar ekspektasi.

Setelah drama selesai, Sansan mengajak Ange ke Spectrum lebih dulu sebelum mengantarnya kuliah. Dia perkenalkan tempat produksi otak alat-alat elektronik itu pada si cengeng yang sulit ditebak. Gedung Spectrum terletak tidak jauh dari ruko hunian mereka.

Saat masuk Ange disambut meja berbentuk huruf L yang mirip meja resepsionis pada umumnya. Hanya saja, bukan resepsionis yang ada di sana, melainkan empat orang ahli desain komponen PCB. Meja itu terhubung dengan etalase memanjang seperti di toko kue, hanya pajangannya berbeda. Dua perempuan penjaga toko berada di area dalam etalase itu. Ange menyapa mereka ramah.

Di penghujung etalase, ada ruangan bersekat kaca hitam gelap dengan lubang kecil mirip loket karcis. Itu ruangan Sansan, tidak besar, di dalamnya hanya ada dua kursi, satu meja panjang dengan deretan laci yang merapat ke dinding, di atasnya ada komputer 34 inch juga speaker kecil. Kini, di ruangan itulah dia dan Sansan berada.

“Lantai dua sama tiga tempat produksi,” jelas Sansan.

“Oh. Jadi ini tempat apa intinya, Kak?”

Saat hendak menjawab, seseorang menaruh uang juga bon di lubang kecil loket. Sansan terlebih dulu mengecek bon pemesanan, menghitung uang, lalu membuat bon pembayaran. Ditaruhnya bon itu di lubang tadi, dan langsung ada yang mengambilnya.

“Pembuatan PCB.”

Usahanya adalah pembuatan Print Circuit Board atau print papan sirkuit yang merupakan otak/komponen inti dari alat-alat elektronik. Toko Sansan hanya memproduksi sesuai pesanan, bukan produksi massal karena itu sedikit mustahil. Setiap PCB mempunyai desain komponen tersendiri tergantung akan digunakan untuk apa.

Rambut sebahu Ange bergoyang-goyang mengikuti kepalanya yang mengangguk. “Gitu.” Dia tersenyum. “Terus buat aku diajak ke sini? ”

Alis Sansan bertaut, lalu dia berpaling menyalakan komputer dan mulai menggarap proyek di layar besar itu. Tidak menghiraukan bola mata nanar istrinya yang penuh harap menanti jawaban.

“Ini tempat punya Kakak?” tanya Ange lagi, setelah beberapa waktu berlalu.

“Ya.”

“Beneran?”

“Ya.”

“Tapi Angga bilang Kakak gak dapet apa-apa dari Papi.”

“Jangan sebut-sebut dia!” Rahang Sansan mengeras.

Ange tersentak. “Maaf, Kak.” Dia lalu memikirkan kata pengganti untuk Angga, agar tidak salah menyebut lagi. “Emh, kata si Ex, Kakak gak dikasih apa-apa sama Papi, Kak.”

Sungguh Sansan tidak mengerti sedangkal apa pemahaman Ange. Tidak menyebut Angga berarti tidak mencuil apapun tentangnya. Itu yang dia maksud, bukan malah mengganti sebutan si setan dengan Ex.

“Kak?”

Sansan mendesah lesu. Rautnya meredup. “Ini hasil kerja gue sendiri.” Setahun lalu dia baru membeli dari pemilik sebelumnya yang bangkrut karena terlilit hutang.

Melihat perubahan di wajah suaminya, Ange sangat ingin bertanya tentang masalah apa yang membuatnya begitu diasingkan oleh Hengky. Dulu, Angga tidak memberitahu secara mendetail, sehingga kini Ange penasaran setengah mati. Namun, sikap dingin Sansan yang bercampur raut wajah itu, membuatnya hanya sanggup menelan rasa penasaran.

“Bos.”

Sansan menoleh pada Roy yang berdiri di ambang pintu, lalu mengambil map yang disodorkan lelaki jangkung itu.

“Si Bos gak pernah bawa cewek, sekalinya bawa langsung istri.” Roy tersenyum-senyum, kemudian melempar candaan sambil berlalu.

Ange terdiam menatap Sansan beberapa saat, kemudian bertanya, “Sarah gak pernah ke sini?”

Sansan menggeleng. Ange menautkan alis. Bibirnya mencong-mencong ke kanan kiri. Ruko dan gedung itu jaraknya cukup dekat, sehingga berjalan kaki saja paling butuh waktu sepuluh menit. Dia merasa aneh jika Sarah sama sekali tidak pernah datang.

“Beneran gak pernah ke sini?”

“Gak.” Pandangan sansan fokus di layar komputer.

Ange membenahi posisi. “Kenapa? Kakak gak pernah ajak dia?”

Sansan menoleh, lalu menyulut sebatang rokok. Namun, tidak ada jawaban untuk Ange. Lelaki berat lidah itu kembali memaku pandang di layar komputer, sementara tangannya sibuk di atas keyboard juga mouse.

“Sarah ada atau masih suka hubungin Kakak, gak?”

“Ada.” Tanpa menoleh Sansan menjawab.

“Apa katanya?” Pertanyaan lain yang tidak mendapat jawaban. Namun, Ange tidak merasa diabaikan. “Kakak ketemu di mana sama dia dulu?”

“Dikenalin temen.”

“Dia kerja apa?”

“CS hotel.”

“Oh.” Ange menghela napas. Terdengar seperti memiliki beban berat. Sansan meliriknya sesaat. “Kakak masih sedih gak batal nikah sama dia?”

“Gak.”

“Masa?”

Helaan napas panjang mengiringi pandangan Sansan yang beralih kepada Ange. “Yang ngajak nikah itu Sarah. Gue iya-iya aja. Jadi, peduli setan batal.” Raut wajahnya datar saja.

“Sarah yang ngajak?”

“Ya.”

“Kenapa dia ngajak-ngajak?” Satu pertanyaan lain yang tidak mendapat jawaban.

Beberapa bulan belakangan Sansan sangat sibuk karena Spectrum terkendala masalah dengan bea cukai. Bahan baku pembuatan PCB ditahan di pelabuhan hingga hampir empat bulan. Dia harus mengurus pengalihan Spectrum dari CV ke PT, agar ekspor bahan bakunya lolos dari cukai. Ditambah kesibukannya yang lain, dia benar-benar tidak punya waktu untuk Sarah.

Komunikasi mereka memburuk, jarang bertemu, dan ketika bertemu pun malah adu mulut. Sarah menuntut waktu, hingga kemudian tiba-tiba meminta dinikahi, katanya agar semua membaik. Sansan iya-iya saja karena malas beradu argumen. Lagipula, usianya sudah kepala tiga, tidak ada salahnya juga menikah.

Sansan malas memberi Ange penjelasan sepanjang itu, seperti malasnya dia menjelaskan kalau alat kontrasepsi pria di laci menumpuk karena sudah sangat lama tidak digunakan. Lelaki kaku itu telah lama tidak menjamah perempuan, dalam hal ini Sarah yang jadi kekasihnya saat itu, dikarenakan kesibukan yang menggunung beberapa bulan belakangan. Mungkin, itu juga alasan Sarah tergoda si bajingan, pikirnya.

“Hih!” Ange memukul bahu Sansan.

“Gue laki lu sekarang. Yang udah lewat, udah lewat. Gak perlu dikorek-korek.”

Ange merengut. Kakinya dinaikkan ke kursi hingga dia terlihat seperti bayi yang meringkuk di stroller. “Kemaren ini, om-om samping rumah Abang cerai gara-gara ada perempuan yang ngaku mantan pacarnya, datang bawa anak yang udah kuliah. Aku ….” Dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

“Jangan mikir aneh-aneh.” Dirinya bukan Angga yang sembrono juga tidak sanggup mengingat berapa banyak dan siapa saja perempuan yang telah ditiduri. Sansan lebih dari sekadar yakin ketakutan Ange tidak akan pernah terjadi. Mustahil, pikirnya.

“Wajar, kan, aku mikir gitu? Kecuali Kakak cowok yang lurus-lurus aja, gak punya mantan. Gak punya … dahlah, males!”

Sekilas Sansan tersenyum, kemudian kembali sibuk menggarap proyek di komputer. Benaknya mulai sedikit memahami tentang Ange yang selalu diliputi begitu banyak keingintahuan mengenai masa lalunya. Cara mereka menjalani juga mengartikan kehidupan yang berbeda 180° jadi alasan. Sansan sadar, istrinya yang kekanak-kanakan itu teramat takut disakiti bahkan, oleh masa lalu.

***

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now