Enam

149 7 0
                                    

Jeritan alarm menarik paksa Sansan dari lelapnya yang belum sampai dua jam. Dia bangkit mencari-cari asal suara bising itu, yang ternyata dari ponsel Ange. Pukul 4.30 WIB, Sansan mengusap wajah. 

“Setengah lima?” Dia bergumam lemah sambil membungkam ponsel istrinya, kemudian kembali berbaring. 

Jeritan alarm kedua menarik Sansan sepenuhnya dari lelap. Itu berasal dari ponselnya, yang berarti sudah lewat jam enam pagi. Dia beranjak mandi setelah membungkam kebisingan dari persegi panjang tipis itu, lalu memanaskan air dan menyeduh segelas kopi. 

Dia membuka pintu sedikit, lalu duduk di tong yang paling dekat dengan pintu. Sebatang rokok dia sulut untuk menemani kopi pahit yang sudah siap di meja. Dipandanginya Ange yang masih meringkuk di balik selimut sambil menikmati kepulan demi kepulan asap rokok. 

Kopi tinggal ampas, dua batang rokok terbakar sudah, Sansan beranjak ke tempat tidur.

“Heh.” Dia menggoyangkan tubuh Ange. “Kuliah jam berapa? Heh.”

Ange menggeliat-geliat. Tangannya meremas-remas bantal. Kakinya menendang-nendang selimut hingga tersingkap. “Aku masih ngantuk, Baaang!” racaunya dengan mata yang masih terpejam. 

“Bang?” Sansan bergumam. Alisnya bertaut. “Nge!” Dia menggoyangkan lagi tubuh istrinya. “Ini gue Sansan, heh!”

Mata Ange langsung terbuka lebar. Dia menoleh pada pria yang sedang berdiri di pinggiran tempat tidur, kemudian tersipu malu memeluk guling.

“Lu kenapa?”

Ange tidak menjawab, malah semakin menyembunyikan wajah di balik guling. 

“Nge? Lu kuliah jam berapa?” 

“Sembilan,” jawabnya, masih dari balik guling. 

“Gue mau buka toko dulu. Mau sarapan apa? Biar gue beliin sekalian.”

Seketika Ange terperanjat. Matanya membulat melihat sinar mentari berkilau menembus kaca jendela. Sansan melongo menatapnya. 

“Kenapa ya, aku gak dibangunin sholat?” Sinis dia membalas tatapan Sansan. 

“Itu ….”

“Apa?”

Mulut Sansan sedikit terbuka hendak beralasan, tapi kemudian hanya diam. 

“Bangun jam berapa Kakak?”

“Enem.”

“Keterlaluan!” Ange beranjak dengan kasar, lalu berjalan menghentak-hentak lantai sampai ke kamar mandi dan membanting pintunya. 

Sansan mengelus dada. Pandangannya terpaku pada pintu yang baru saja tertutup. “Gila. Bisa jantungan gue lama-lama,” desahnya lesu. 

“Awww!” 

Secepat kilat Sansan berlari ke pintu kamar mandi, lalu menggedornya. “Lu kenapa?”

“Perih pipis, Kak! Perih banget!”

Kelapa Sansan tertunduk lemas. Perlahan dia berjalan kembali dan duduk di tepian ranjang. Diliriknya bercak darah di tempat tidur, lalu dihelanya napas yang sangat dalam. Dia merasa harus mulai membiasakan diri akan sering menghela napas dan terkaget-kaget. 

Sambil menunggu Ange selesai mandi, Sansan mengganti sprei juga set lainnya dengan yang baru, lalu melempar yang kotor ke keranjang cucian. 

“Masih lama, Nge?” Dia mengetuk pintu kamar mandi dua kali. 

“Kenapa, ya?”

“Gue harus buka toko.”

Kepala Ange muncul setelah pintu sedikit terbuka. Dia tersenyum lebar. “Aku lupa bawa handuk, Kak.”

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now