Delapan

144 6 0
                                    

“Wajar, kan, aku mikir gitu? Kecuali Kakak cowok yang lurus-lurus aja, gak punya mantan. Gak punya … dahlah, males!”

Sekilas Sansan tersenyum, kemudian kembali sibuk menggarap proyek di komputer. Benaknya mulai sedikit memahami tentang Ange yang selalu diliputi begitu banyak keingintahuan mengenai masa lalunya. Cara mereka menjalani juga mengartikan kehidupan yang berbeda 180° jadi alasan. Sansan sadar, istrinya yang kekanak-kanakan itu teramat takut disakiti bahkan, oleh masa lalu.

Dengan wajah yang masih ditekuk, Ange menggeser kursi ke dekat Sansan. Itu kursi kantoran empuk yang beroda dan bisa memutar 360°. Dia lalu menjatuhkan kepala di lengan lelakinya.

Beberapa detik Ange memerhatikan layar komputer, lantas tersentak antusias menyadari Sansan sedang mengedit video salah satu konten kreator YouTube.

“Kenapa Kakak ngedit video dia?”

“Karna gue editornya.”

“Iya?” Matanya membulat antusias.

“Ya.” Sansan menoleh.

Di akhir-akhir masa SMA, Sansan bekerja lepas menggarap video dari konten-konten kreator yang memang membutuhkan jasa video editing. Karena memang hasil garapannya memuaskan, kian lama kian banyak para konten kreator yang memakai jasanya. Hingga sekarang, Sansan tidak pernah meninggalkan pekerjaan itu.

“Kenapa Kakak gak bikin channel sendiri?” tanya Ange. “Aneh!” hardiknya.

Hanya lirikan saja yang Ange dapat sebagai jawaban dari lelaki irit bicara itu. Sejujurnya, Ikhsan sama pendiamnya dengan Sansan. Alasan yang membuat Ange seolah-olah sudah terbiasa menghadapi makhluk berat lidah seperti suaminya.

“Aku mau bikin konten juga, Kak. Kakak yang editin nanti, ya? Boleh?” Senyumnya tersungging sangat lebar.

“Boleh.”

“Jadi, kan, beli alat masak sama isi kulkas?”

“Jadi.”

“Bener, ya?”

“Ya.”

“Love you sekebon, Kak.” Ange berdiri lantas duduk di pangkuan Sansan dan memeluknya sangat erat.

Kepala Sansan memiring sedikit demi melihat layar komputer yang terhalang belitan tangan istrinya. “Berangkat jam berapa?”

Bibir Ange mengerucut. Matanya mengerling ketus. Dia lalu kembali duduk di kursinya. “Apakah hatimu tidak meleleh sedikit pun mendengar pernyataan cintaku, Kakanda?”

Sansan beranjak dari kursi. “Gue pinjem kunci si Roy dulu,” katanya, kemudian berlalu.

Jarak kampus Ange yang dekat membuat Sansan malas menggunakan mobil, sehingga meminjam motor milik Roy. Saat kembali, dia melihat Ange sedang memegang pigura foto kecil yang memajang potret bocah balita perempuan bermata sipit.

“Itu adek gue.”

“Aku tau.” Foto gadis kecil itu ada juga di rumah Hengky, dan Angga pernah memberitahunya kalau bocah bernama Ayumi itu meninggal saat berusia empat tahun. “Kakak sayang sama dia, ya?”

Baik di ruko maupun di Spectrum, tidak ada foto keluarga satu pun. Hanya foto gadis kecil itu yang Sansan pajang. Ange pikir, pasti adik kecil suaminya itu punya tempat spesial.

Sansan mengambil jaket yang terkait di kursi, lalu memakainya. “Yuk.”

Sambil bersungut-sungut Ange mengikuti Sansan yang sudah mengayun langkah keluar. Mereka kemudian berkendara di jalanan selama kurang lebih lima belas menit hingga sampai di gerbang depan kampus UI.

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now