Empat

217 8 1
                                    

Ange menunduk dalam. “Gak gitu juga, Kak.” Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung mata Sansan. “Aku pengen bales Angga!” Bicaranya sangat cepat.

Seketika Sansan bangkit. Rahangnya mengeras.

“Jangan salah paham, Kak.” Cepat Ange mengoreksi. “Angga takut sama Kakak, kan? Iya, kan? Dua minggu ini aja dia teror aku terus, Kak.” Nanar bola-bola matanya mengarah Sansan. “Terus, kan, Sarah ngomong gini 'Tapi Sans itu gentleman, bukan baj*ingan kayak kamu'.” Persis seperti Sarah dia memeragakan, bahkan caranya mengibas rambut.

Sansan memutar bola mata, lalu kembali bersandar. “Pasti beda.”

“Apanya?”

“Penilaian kalian.”

“Penilaian apa?”

Walaupun selama Ange jadi kekasih Angga mereka hanya dua atau tiga kali bertemu saat ada acara di rumah Fumiko, juga tidak pernah bertegur sapa apalagi berbincang, Sansan sudah dapat menilai kalau perempuan yang baru jadi istrinya itu pasti akan berbeda pemahaman dengan Sarah. Pergaulan dan gaya hidup dua perempuan itu jauh berbeda. Ange pastilah buta bagaimana orang-orang seperti Sarah menjalani kebebasan.

“Gak baj*ingan menurut si Sarah, belum tentu menurut lu juga.”

“Masa, sih?” Sepengetahuan Ange baj*ingan, ya, baj*ingan saja di mata semua orang.

“Gue dah bilang gue br*engsek.”

Ange terdiam, menunduk dalam. Tangannya menggulung-gulung handuk. “Kakak … tapi … gak kayak Angga, kan?”

Sansan berpaling ke kaca bening besar di samping tempat tidur yang mengarah ke balkon. Tentang menyanggupi menikahi gadis itu karena rasa kasihan. Entahlah, apa dia bisa? Lagipula, bukankah Ange hanya butuh pelindung dari Angga juga seseorang yang sudi membiayai hidupnya?

“Kak. Kakak … gak akan nyakitin aku kayak Angga, kan?”

Sambil kembali menatap Ange, Sansan membuang nafas kasar. Namun, tidak ada sepatah kata pun meluncur dari bibirnya. Baiklah, dia tidak sebre*ngsek Angga, tapi apa jaminan gadis itu tidak akan tersakiti olehnya?

Gaya hidup mereka berbeda jauh, pikir Sansan. Ange pasti akan jatuh pingsan jika tahu dia meni*duri semua perempuan yang menjadi kekasihnya kecuali cinta pertamanya, atau bagaimana dia sesekali mengunjungi panti pijat ketika tidak memiliki kekasih hanya demi mendapat pelepasan. Tentu dia tidak sudi bercu*mbu dengan pela*cur, dan hanya meminta perempuan-perempuan bi*nal itu melakukan blow job sampai ha*sratnya terpenuhi. Namun, tetap saja, Ange akan pingsan atau paling tidak menangis tujuh hari tujuh malam kalau sampai tahu.

“Aku tau kita gak kenal sebelumnya, Kak.” Mata Ange menghangat. Pandangannya mulai buram akibat desakkan bening di pelupuk mata. “Tapi … aku bakal berusaha sayang sama Kakak.” Tersedu-sedu dia bicara, hingga ragu Sansan mendengar dengan jelas. “Tolong … bantu aku, Kak.”

Air mata itu malah membuat Sansan semakin tidak sanggup berkata-kata. Dia tidak mengerti kenapa. Air mata yang seperti malam itu.

“Ngomong, Kak.” Ange terisak-isak sambil menyeka wajahnya yang basah. “Malah diem terus dari tadi kayak batu ulekan.” Dahi Sansan mengernyit. Batu ulekan? “Kakak mau bantu aku, kan, biar bisa sayang sama Kakak?”

Sansan menelan ludah berat. Raut Ange campur aduk sampai dia tidak bisa menentukan perempuan itu sedang marah atau sedih.

“Kak!” Ange mendorong bahu Sansan.

“Apa?”

“Ngomong, dong! Kita kan, udah nikah. Kakak juga harus berusaha sayang sama aku.” Sansan bergeming. Benaknya masih berkecamuk. “Aku tau ….” Air mata mata Ange kian deras. “Aku cuma cewek be*go. Pasti susah buat sayangin aku, kan? Iya, kan?”

Perempuan-perempuan yang pernah jatuh ke tangan Angga pastilah para pemuja romantisme dan hal-hal manis. Sesuatu yang sama sekali tidak dimiliki Sansan. Dia keras, sekeras kehidupan padanya. Dia dingin, sedingin tangan takdir mempermainkannya. Dia membenci cinta, seperti cinta pernah menorehkan luka yang begitu dalam di dadanya. Luka yang tidak pernah sembuh.

Dua kali. Dua kali Angga telah merenggut perempuan di hidupnya. Sansan tidak begitu peduli tentang Sarah, tapi tidak dengan satu yang lain. Perempuan yang telah mengenalkannya pada cinta, tapi kemudian membuatnya muak pada rasa yang baru dikenalnya itu, hingga dia tidak lagi sudi percaya. Cinta s*ialan yang dengan mudahnya tergoda oleh si saudara kembar yang ba*jingan.

Telah lama Sansan hanya menjalin hubungan tanpa memikirkan rasa, termasuk dengan Sarah. Namun kini, di hadapannya duduk terisak-isak seorang gadis yang digilai si baji*ngan setengah mati. Gadis yang menyodorkan diri menjadi istrinya begitu saja. Gadis yang selalu membuatnya tidak bisa berkata-kata. Gadis yang baru saja memohon untuk disayangi. Bagaimana dia bisa?

“Sesusah itu, Kak?” Kebisuan lelaki itu menorehkan luka di dada Ange. Dia menunduk sambil tergugu.

“Gue bakal coba.” Akhirnya hanya itu yang sanggup meluncur dari bibir si lelaki berhati keras.

“Coba apa?” Masih dalam kondisi menunduk dan tergugu dia bertanya.

“Nerima lu.”

Perlahan-lahan Ange mengangkat kepala sambil menyeka wajah. Kemudian, meski digelayuti ragu, perlahan-lahan juga dia mendekat, lalu melingkarkan kedua tangan di pinggang Sansan, dan menyandarkan kepala di bahunya.

“Beneran dicoba, ya, Kak?”

“Ya.”

Ange mengangkat kepala sambil menggosok-gosok hidung. Sansan memandanginya. “Kakak bau debu,” katanya, “Idung aku geli. Mandi, ih! Ganti baju!”

Butuh waktu beberapa detik untuk Sansan bisa mencerna perubahan mood Ange, sebelum kemudian dia memutuskan beranjak mandi karena tidak mengerti, bagaimana mengolah situasi mereka sekarang. Seperti sesuatu yang di luar akal sehatnya.

Selesai mandi, Sansan beranjak ke depan lemari. Saat membuka persegi kayu besar itu, dia serta merta melompat ke tempat tidur. Ange yang baru saja menutup pintu setelah mengambil makanan dari kurir, langsung ikut melompat ke samping suaminya.

“Ada apa, Kak? Hantu?” Dia melotot sambil bersembunyi di punggung Sansan yang bergeming dengan raut wajah sangat tegang. “Ada hantu di lemari apa, Kak?” Ange gemetaran melongok wajah Sansan, lalu melempar tatapan ke lemari yang pintunya sedikit terbuka.

Sansan masih bergeming. Meski takut, Ange kembali melirik lemari, lantas melihat seekor kecoa yang merayap keluar dari celah pintunya. Ragu-ragu dia menoleh pada Sansan yang rautnya semakin tegang.

Ange turun dari tempat tidur. “Ini?” Dia menunjuk kecoa sambil terkekeh mengolok sekaligus heran. “Kakak takut ini?” Kresek berisi makanan dia taruh di meja.

“Gue geli!” elak Sansan cepat.

Tanpa ragu Ange memburu dan mengurung kecoa itu dalam genggamannya. “Muka sinis, rambut gondrong takut kecoa, Kak?” Tawanya tidak dapat ditahan lagi. “Lucu banget, Ya Allah.”

“Gak lucu!”

“Ih, lucu.” Mata Ange membulat. “Nih nih!” Dia melayangkan genggaman berisi kecoa kepada Sansan.

“Heh!” Sansan melompat ke samping tempat tidur, bersiap meraih kenop pintu menuju balkon. “Buang!”

Sambil tertawa Ange melengos ke kamar mandi. “Cemen banget.”

***

Obsesi Adik IparOù les histoires vivent. Découvrez maintenant