Sembilan Belas

165 9 2
                                    

Angga merapikan kemeja juga jas begitu turun dari mobil yang baru saja terparkir di basement Pattaya Resort. Salah satu dari empat resort milik Hengky yang kini jadi miliknya. Dia mengayun langkah setelah yakin terlihat sempurna dari ujung kepala sampai kaki. Rambut pendek klimis yang disisir rapi ke belakang, wajah bersih dan tampan, pakaian yang pantas, juga sepatu mengkilap. Sempurna.

“Pihak EO sudah booking! Gimana bisa gak ada nama aku? Cek lagi!”

Suara lantang juga penuh emosi seorang perempuan menghentikan langkah Angga saat tengah memasuki lobby. Dia menoleh ke arah meja panjang resepsionis, tempat suara itu berasal. Tampak seorang perempuan cantik berambut panjang kepirangan sedang berkacak pinggang di sana. Wanita yang sangat cantik, Angga lekas menghampiri demi mencari tahu masalah apa yang terjadi.

Di Pattaya ada sebuah brand yang akan menyelenggarakan seminar dan wanita itu adalah salah satu pembicara. Pihak EO dari brand tersebut mengatakan sudah mem-booking kamar atas namanya, tetapi tidak bisa ditemukan di sistem rekap hotel. Masalahnya, wanita itu mengingikan kamar eksklusif yang hanya tersedia lima saja di Pattaya, dan semuanya sudah terisi.

“Ah ….” Angga tersenyum ramah. “Missed komunikasi. Bagaimana kalau Nona pilih kamar lain? Ada beberapa yang tidak kalah nyaman,” tawarnya kemudian.

“Aku mau ketemu manager di sini!” Ketus wanita itu membalas, tapi tidak memudarkan keramahan di wajah Angga sedikit pun.

“Maaf, Nona. Sepertinya manager saya sedang sibuk.” Angga menaruh satu tangan di dada. “Perkenalkan, saya Erlangga, CEO Pattaya Accommodation Group. Senang jika Anda sudi saya layani.”

Mata perempuan berkulit putih itu membulat untuk sesaat, tapi kemudian dia lekas berdehem sambil melempar tatapan datar ke pada Angga. “Okay.”

“Maaf atas keteledoran kami.” Sekilas Angga melirik resepsionis di balik meja, kamudian kembali menatap si perempuan. “Kami akan siapkan kamar terbaik untuk Anda, dan ….” Penuh penyesalan dia tersenyum. “Sambil menunggu, saya harap Anda sudi singgah di cafe kami.”

“Oh, itu ….” Tangan perempuan itu bergerak mengelus bahu, kemudian merapikan rambut yang padahal sudah sangat tertata.

“Saya traktir sebagai permohonan maaf.” Lekas Angga buka suara. “Mari.” Dia menjulurkan tangan pada si perempuan yang meski tampak ragu-ragu tapi menyambutnya juga.

Angga menggiring wanita itu ke cafe di area belakang resort bertema pedesaan Thailand itu. Setelah memilih tempat duduk nyaman yang berhadapan dengan taman anggrek, dia menarik kursi dan mempersilahkan perempuan itu duduk. Kemudian, dia menawarkan cake juga minuman terbaik setelah dirinya duduk juga.

Cantik dan modis dari ujung kepala sampai kaki, sambil terus mencoba berbincang, Angga menilai dan berusaha menerka-nerka. Selebgram? Youtuber? Kalau model jelas bukan, tilainya, perempuan di seberang meja itu terlalu pendek untuk jadi seorang model, apalagi profesional. Meski tubuhnya cukup menggiurkan dalam balutan dress mini seksi, tidak mungkin dia seorang model, pikir Angga.

“Wajah Anda familiar. Sepertinya saya sering lihat, hm ….” Angga mengulum bibir bawahnya. Matanya ramah menatap perempuan itu.

“Aku selebgram,” pungkas si perempuan cepat, “Yah, gak begitu terkenal. Cuma sebelas juta folowers.”

Merendah untuk meninggi, Angga mengangguk-angguk. “Pantas wajah Anda familiar. Pasti sudah banyak endorsement, atau malah ambasador?” Matanya yang sipit terbuka lebih lebar seolah-olah sedang sangat antusias.

“Ya, gitulah.” Perempuan itu berpaling. Wajah tampan pria di hadapannya itu sungguh menghipnotis, apalagi senyumnya yang memesona juga sikapnya yang penuh penghargaan, ditambah aroma parfum mewah yang sejak tadi memanjakan indra penciumannya. Angga nyaris membuatnya melucuti pakaian tanpa diminta.

Obrolan di antara mereka berlanjut, jauh lebih ringan hingga saling melempar canda juga tawa. Perempuan itu tipe yang sudah Angga perkirakan, memajang sikap jual mahal padahal murahan. Tidak seperti Ange yang blak-blakan tetapi tidak tersentuh. Menggemaskan. Si menggemaskan yang telah jatuh ke tangan si kaku. Kakaknya yang menyebalkan.

Sungguh Angga tidak bernafsu menyentuh si selebgram, tapi moodnya sedang seburuk harinya dan dia butuh pelampiasan. Begitu room boy memberitahu kamar untuk artis media sosial itu telah siap, Angga mengantarnya ke kamar, dan sesuai dugaan, perempuan itu murahan. Hanya dengan satu kedipan mata Angga mampu melucuti pakaiannya.

Namun, tidak peduli jalang itu mengerang bahkan, menjerit kesakitan, tidak sedikit pun kobaran api di dada Angga mereda. Padahal, bentuk tubuhnya nyaris seperti Ange. Angga kian kesal, dia menjambak rambut perempuan itu hingga jeritannya kian kencang.

Tidak. Angga memejam, dia sedang tidak ingin terlibat masalah lagi. Dia melepaskan perempuan itu dan memberinya kepuasan yang sebenarnya, lantas meninggalkannya yang sudah terkulai lemas begitu saja.

Sambil membenahi kemeja juga jas, Angga melangkah menuju ruangannya. Saat sampai, dia duduk, memejam, dan mencoba mengatur napas yang terganggu ganjalan besar di dadanya.

Sarah sialan!

Rencananya gagal karena wanita bodoh itu tidak bisa berpikir cerdas. Apa sulitnya menyetujui syarat Sansan? Sisanya bisa dipikirkan nanti. Batin Angga terus merutuk, tidak sudi Sansan berhasil melangkahinya meski hanya dalam satu hal pun. Cukup sudah masa kecilnya menderita karena si kembaran yang egois. Angga bangkit, lantas menendang meja hingga terjungkal dan benda-benda di atasnya berjatuhan.

“Sans, maen bola, yuk!”

“Sans maen PS, yuk!”

“Sans camping, yuk!”

“Sans, tadi di sekolah aku diejekin temen-temen. Mereka bilang aku bloon, gak pinter kayak kamu. Sans ….”

“Kamu dibeliin krayon baru, ya? Kok, Mami gak beliin aku juga, Sans?”

“Sans.”

“Sans.”

Ajakan apapun, cerita apapun, pengaduan apapun tidak pernah mendapat tanggapan dari si kakak yang sangat pendiam. Sansan hanya sibuk menggambar dan menggambar. Padahal mereka saudara, bahkan kembar, bukankah mereka seharusnya bermain bersama? Bukankah seharusnya Sansan selalu mendengarnya? Tapi tidak, kakaknya itu senantiasa angkuh dalam diam layaknya benteng perang.

Angga muak! Dia sangat membenci Sansan! Apalagi saat Ayumi hadir, sikap Sansan begitu berbeda pada adik perempuannya itu. Manis dan senantiasa mengajaknya bermain. Sialan! Angga semakin membencinya! Benci yang tidak bisa ditakar lagi!

Bahkan, setelah dibuang oleh Hengky, Sansan masih terlihat bisa hidup nyaman dan mendapat dukungan juga kasih sayang Fumiko. Angga tidak terima meski tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kini, si sialan telah berani merebut mainan yang belum sempat dia mainkan, Angga tidak akan tinggal diam.

Apapun resikonya, Angga akan membuat Sansan menderita. Walaupun Ange mungkin tidak akan pernah kembali ke pelukannya, dia pastikan, Sansan juga tidak akan bisa memilikinya, atau tetap memilikinya dalam penderitaan yang tidak akan sanggup siapapun bayangkan.

“Tunggu gue, Sans.” Napas Angga memburu.

Seringai menghias wajah itu. Wajah yang biasa hangat dan bersahabat. Wajah dengan seribu kebencian yang tersembunyi. Wajah yang sama persis dengan dia yang dibencinya setengah mati.

***

Part free akhir ya, pipelers ♥

Buat yg mau lanjut baca bisa order PDFnya di 083821363046

Atau beli Ebooknya di PlayStore dengan judul Obsesif Ex

Makasih 🥰

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now