Sepuluh

121 15 1
                                    

Ange sembunyi-sembunyi. Sesekali dia mengintip dari pinggiran tembok, memerhatikan seorang pria yang sejak tadi duduk di dekat gerbang keluar. Jantung si cengeng berdebar tak karuan saking takut. Padahal, dia sudah meminta temannya berbohong kalau dirinya sudah pulang, tapi Angga tidak bergeming dari tempat itu.

“Psikopat mantan lo, Nge.”

Ange mengangguk menatap seorang gadis yang sejak tadi menemaninya bersembunyi. “Bener.”

“Muter lewat gerbang belakang aja, pesen ojol. Atau telfon suami lo. Dia takut kan, sama kakaknya?”

Benar, tapi Ange sedikit gamang mereka akan bergaduh di kampus. Belum lagi, menunggu Sansan menjemputnya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam.

Sudah lewat jam satu, Ange melihat penunjuk waktu di ponsel. “Mesen ojol aja. Gue takut mereka berantem.”

Temannya mengangguk setuju. “Iya juga, sih. Lagian, udah gue kasih tau jangan pacaran sama cowok tua. Gini, kan, jadinya.”

“Ih!” Kaki kanan Ange menghentak lantai. “Tiga puluh gak tua keleees! Lo yang sok muda! Beda lapan taun doang juga.”

Gadis berambut panjang dan pirang itu menyeringai konyol. “Suka-suka lo, dah, dasar bayi gaming!”

“Dasar Susanoo! Daripada lo pacaran sama yang sekampus, jajan bakso doang patungan!” Setelahnya Ange terkikik geli. Nama temannya Susan, dia cemooh seperti itu.

“Heleh!” Bola-bola mata Susan berputar jengah. “Cepet mesen ojol. Suruh ke gerbang belakang! Awas salah lo!”

Ange segera memesan ojek online, kemudian berjalan bersama Susan menuju gerbang belakang kampus. Jarak gerbang depan dan belakang Kampus UI sangat jauh, itulah sebabnya Ange lebih memilih bersembunyi tadi. Namun, daripada harus menghadapi Angga, dia lebih suka berjalan sejauh apapun itu.

Begitu sampai, seorang driver sudah menunggunya di pinggiran gerbang. Ange berpamitan pada Susan, kemudian duduk di belakang si sopir yang melaju beberapa detik kemudian.

Tujuan Ange ke gedung Spectrum, bukan ruko karena tahu suaminya pasti masih bekerja. Saat sampai, salah satu dari dua pelayan toko mengatakan kalau Sansan sedang makan siang.

“Biasanya di warung padang sebelah ini, Neng Bos, kalo gak warteg depan.”

Karena saat melongok ke rumah makan di samping gedung Sansan tidak ada, Ange lekas menyeberang dan berdiri di ambang pintu warteg. Pemandangan suaminya yang sedang duduk di bangku sambil bersantap menyambut mata Ange. Lelakinya itu duduk menyilang sebelah kaki yang beralas sandal jepit, rambutnya diikat bergulung, dengan kaos dan jeans lusuh yang membungkus tubuhnya, dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang bos. Terlebih itu sebuah warteg super sederhana, orang kaya mana yang mau menginjakkan kaki di tempat makan rakyat jelata? Ange membatin, Sansan sangat bertolak belakang dengan Angga.

“Kak.” Puas menikmati pemandangan suaminya yang merakyat, Ange masuk.

Sansan sedikit terkejut. Ditaruhnya piring, lalu diambilnya mug berisi teh hangat yang lalu dia minum beberapa teguk. “Gak minta jemput?”

“Kakak kan, lagi kerja. Tutup jam empat, kan?”

Gak bisa apa sebentar aja ninggalin kerjaan buat jemput? Atau emang gue pernah ada harganya di mata lo? Suara itu melintas begitu saja di kepala Sansan.

“Udah makan?”

Ange menggeleng. “Aku sekalian makan di sini aja, ya?”

Sansan mengangguk, lalu mengambil piringnya lagi di meja dan mulai makan. Sambil mengunyah, dia memerhatikan Ange yang sedang memesan setengah porsi nasi, perkedel, sayur daun singkong, sambal, dan kerupuk.

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now