lima belas

104 10 1
                                    

“Jangan tidur duluan, Kak.”

“Ya.” Ciuman di kening, pipi, juga hidung si penakut didaratkan Sansan.

Gemetar juga keringat dingin istrinya dirasakannya dengan jelas. Sansan heran sekaligus merasa geli, seseorang yang penakut tidak seharusnya menonton film horor. Namun, di satu sisi dia merasa lega, perempuannya telah kembali tanpa bujuk rayu yang jelas-jelas tidak becus dia lakukan.

***

Pagi hari Sansan menggeser tong ke dekat dapur karena Ange masih juga ketakutan bahkan, mandi Subuh tadi pun mereka lakukan bersama. Cobaan berat bagi Sansan karena dia hanya bisa melihat, Ange menolak tegas saat diminta bercumbu.

Segelas kopi pahit dan sebatang rokok menemaninya menonton Ange yang sedang membuat fruit sando seperti semalam. Katanya, si penakut sedang malas menyalakan kompor. Alasan yang membuat Sansan tidak habis pikir kalau ternyata, di dunia ini ada seseorang yang tidak memasak karena malas menyalakan kompor. Namun, tentu saja dia tidak berani berkomentar.

Sekarang ketakutan Sansan bicara bukan hanya karena setiap katanya akan berubah berjilid-jilid setelah sampai pada istrinya, tapi bisa juga hanya jadi halaman kosong yang hampa. Keduanya bukan pilihan yang menyenangkan. Diam atau mengoceh, Ange tetap menyeramkan.

Empat potong sandwich buah tersaji di piring, Ange membawanya ke meja diikuti Sansan. Seperti kemarin, Sansan dipaksa minum susu terlebih dulu sebelum sarapan dimulai. Tanpa penolakan, dia menandaskan sekaleng susu itu.

“Kemaren Susan ngomel-ngomel soalnya aku diem terus.” Tiba-tiba Ange bersuara di tengah-tengah suapan. “Kadang aku bingung. Aku pusing mau orang-orang apa. Aku ngomong salah, aku diem salah. Terus aku tanya mau dia apa, dia malah sewot nanya-nanya aku kenapa. Aku ….” Ucapannya terjeda karena harus menelan hasil kunyahan sandwich. “Katanya aku gak jelas banget. Padahal … padahal aku harusnya gimana yang bikin dia mungkin gak kesel? Yang ….”

“Gak masalah.” Sansan lekas menyadari Ange mulai bicara berputar-putar. “Susan keknya sewot bukan masalahin sikap kamu, saya pikir.” Semoga tebakannya tidak salah kalau, itulah yang ingin Ange dengar.

“Bukan?”

“Bukan.”

“Emh … kalo Kakak?”

Sesaat Sansan terdiam, lalu menelan sisa sandwich yang kemudian didorong dengan beberapa teguk air. “Gak ada. Gak masalah.”

“Beneran?”

“Ya.”

“Meski aku gak punya pendirian? Aku berlebihan?”

Yah, dugaannya benar. Sansan mulai bisa membaca kegelisahan istrinya. “Berlebihan atau gak punya pendirian itu masalah, tapi bukan berarti saya gak terima.”

Pandangan Ange terpaku di meja dalam kebisuan. Dia menggigit potongan sandwich, lalu ogah-ogahan mengunyah.

Sansan menelan ludah berat. “Kalo … kalo saya marah atau kesel, bukan berarti saya gak nerima kamu, Nge, apalagi mikir buat ninggalin kamu. Saya gak akan pernah ninggalin kamu.”

Ange mengangkat kepala. Matanya menghangat. “Bener?”

“Ya.”

“Janji?”

“Janji.”

“Kalo ternyata Sarah hamil anak Kakak, Kakak juga gak akan ninggalin aku?”

“Gak.” Ada yang menelusup ke dalam benak Sansan. Ocehan istrinya kemarin pun, hanya karena terlalu takut dibuang.

Sambil terisak Ange pindah ke pangkuan Sansan. Memeluk erat suaminya itu. “Bener, kan, Kak? Kakak gak akan pernah ninggalin aku?”

“Ya.”

Untuk permintaan sesederhana itu butuh pengertian yang banyak ketika berbicara dengan istrinya. Sansan tahu Ange sangat sulit mengungkap keinginan karena terlalu takut mendengar penolakan, atau jawaban yang tidak sesuai dengan harapan. Ange takut menghadapi kenyataan karena sering diabaikan, ditolak, bahkan dibuang. Sansan butuh sesuatu yang bisa membuat perempuannya lebih percaya diri juga percaya padanya.

Sansan ingin mengatakan agar Ange tidak lagi ragu mengungkap apapun, tetapi tahu hal itu sulit. Dia tahu itu bukan hal mudah karena dirinya sendiri pun, bukan seseorang yang bisa dengan gampang mengungkapkan sesuatu. Bahkan kini, saat ingin mengatakan betapa dia mengasihi perempuannya, Sansan hanya mampu menelan ludah.

“Aku kuliah pagi, Kak. Udahan meluknya.” Ange kembali ke tempat duduknya yang semula.

Dua insan yang sama-sama punya kesulitan mengungkap perasaan itu pun melanjutkan santap pagi. Ange beranjak membereskan meja juga mencuci piring saat selesai sarapan, sementara Sansan memanaskan mobil.

Di bawah, pandangan Sansan menyisir sekitar. Melihat-lihat tetangga samping ruko yang juga sedang memanaskan kendaraan.

“Ruko bawah gak disewain aja, Mas? Sayang kosong.” Tiba-tiba lelaki yang merupakan penghuni ruko samping menghampirinya.

“Banyak barang. Males beresin.” Asal saja Sansan menjawab.

“Pacar baru ya, Mas?” Pandangan lelaki itu mengarah ke atas. Tepatnya ke penghujung tangga di mana Ange baru saja keluar. “Agak lain,” tilainya kemudian.

“Bini, Om.” Sansan menunjukkan cincin yang melingkari jari manisnya.

“Wah.” Dia tertawa lepas. “Pantes lain dari yang sebelum-sebelumnya. Sudah bosen main-main, ta?”

Sansan hanya tersenyum sambil menoleh kepada Ange yang kini berdiri di sampingnya. Si tetangga kemudian memperkenalkan diri pada Ange sebelum kembali ke huniannya.

“Ngobrol apa, Kak?”

Beberapa saat Sansan hanya diam memandangi istrinya. Memang berbeda, pikirnya. “Kamu.”

“Aku?”

“Ya.”

“Kenapa, ya?”

“Kamu cantik banget katanya, kek boneka. Dia sampe pengen nyulik kamu terus ngurung kamu di kamar biar gak bisa diliat orang lain. Biar kamu buat dia sendiri aja, gak diliat apalagi disentuh orang lain.”

“Apa?” Mata Ange membulat cemas. “Psikopat apa dia? Serem banget, Kak!”

“Takut?”

“Iyalah! Serius dia ngomong gitu?”

“Gak. Saya yang ngomong.” Lekat Sansan tatap perempuannya dengan tampang super serius. “Saya yang mau gitu.”

“Huh? Kakak …?”

“Ya. Takut?” Raut wajah Sansan semakin serius.

“Emh, itu … aku ….” Ange menggeleng ragu. Sansan tertawa. “Ih! Rese!”

Meski seram, nyatanya pikiran itu memang mengisi kepala Sansan. Bukan hal yang akan dilakukannya, hanya ungkapan dari betapa besar kasihnya untuk Ange.

***

Obsesi Adik IparWhere stories live. Discover now