Tiga

201 5 0
                                    

Tidak ada malam romantis di hotel, apa lagi bulan madu ke tempat-tempat eksotis untuk Ange. Malah, pernikahannya tanpa pakaian spesial, hanya kemeja dan celana bahan biasa. Selepas ijab, Sansan memintanya ikut dulu bersama Ikhsan, karena dia harus mengantarkan Fumiko pulang.

“Sekalian packing barang-barang lu. Nanti gue jemput.” Begitu pesannya.

Sesuai janji, Sansan menjemput dan langsung membawanya ke ruko tempat dia tinggal. Ruko dua lantai di kawasan Kelapa Dua Depok.

“Naik sana, terus bukain pintu.” Sansan memberikan kunci kepada Ange yang malah tertegun, memandanginya yang hendak mengangkat koper juga tiga dus besar dari bagasi. “Lu tuli?”

Ange terkesiap, lalu ragu-ragu mengambil kunci di tangan Sansan. Ragu-ragu juga dia memandangi ruko dua lantai dengan tangga besi berkelok di bagian samping. Lantai satu tampak seperti toko dengan rolling door kokoh berwarna hitam. Sedangkan di lantai dua terdapat balkon yang sedikit memayungi halaman ruko. Namun, tangga samping itu tidak mengarah ke balkon, Ange memandangi pintu besi di penghujungnya.

“Naik tangga itu, Kak?” Ragu-ragu dia bertanya.

“Terbang.” Sansan sedang mengangkat dua kardus sekaligus. Ange langsung berlari kecil menaiki tangga dan membuka pintu.

Pemandangan bak kapal pecah menyambut matanya saat melangkah masuk. Hunian itu tidak layak disebut hunian meski cukup luas. Selain kamar mandi, semua ruangan jadi satu dan tidak bersekat. Tempat tidur king size di samping kaca besar yang mengarah ke balkon acak-acakan, satu bantal bahkan tergeletak di lantai.

Ange ternganga memandangi ruangan bernuansa minimalis semi kontemporer yang seperti habis terkena puting beliung itu. Di lantai kayu klasik bertebaran buku-buku manga Jepang, bungkus bekas camilan, pakaian bahkan, celana dalam dan puntung rokok. Satu-satunya bagian yang lumayan layak hanya dapur di sebelah kanannya. Tempat yang memang jarang disentuh Sansan.

Selesai mengangkat koper dan kardus terakhir, Sansan melirik perempuan yang baru saja jadi istrinya. “Kenapa?”

“Berantakan banget, Kak.” Meski disusupi ragu, Ange memberanikan diri bicara. Walau kembar, baik secara penampilan, perangai, juga kerapihan Erlangsan dan Erlangga berbeda 180°, pikirnya.

Angga lelaki klimis yang mengutamakan kerapian dan kebersihan, sedangkan Sansan sebaliknya. Selain itu watak mereka pun berbeda jauh, yang satu ramah dan manis, satunya lagi kaku dan dingin. Ange tidak habis pikir, hanya wajah mereka saja yang mirip. Itu pun sudah bisa dibedakan dengan mudah akibat penampilan yang jauh berbeda.

“Kakak gak pernah beres-beres?”

“Lu bisa beresin kalo ngerasa terganggu.” Acuh tak acuh Sansan menimpali sambil melepas jaket parka berwarna hijau army dari tubuhnya, lalu melemparnya ke meja kayu bundar yang dikelilingi tiga tong pendek metal mengkilap. “Gue nggak.” Dia lalu mengempaskan diri di tempat tidur berbalut sprei abu yang sudah tidak jelas rupanya.

Beberapa saat Ange menatap lelaki yang kini sedang asyik menggeser-geser layar ponsel itu, sebelum mulai berbenah. Pasti Sansan satu-satunya lelaki di dunia yang menikah hanya mengenakan setelan kaos oblong dan jeans usang, pikirnya.

***

Sansan mengerjap beberapa kali, lalu menguap sambil beranjak duduk di tepian ranjang dengan posisi kaki langsung menapak lantai. Dia tersentak memegang dada saat melihat seorang perempuan sedang shalat, lalu menghela napas ringan menyadari itu Ange. Benar, dia telah menikah dan nyaris lupa akibat tertidur.

Beberapa saat dia tertegun memandangi setiap sudut ruangan. Semua bersih dan harum. Pijakannya bahkan, terasa menyejukkan telapak kaki. Rak dan meja dapur, lemari pendingin, televisi yang menempel di dinding dan rak di bawahnya, meja komputer yang memanjang di tembok samping tempat tidur sampai batas dapur beserta ambalan panjang di atasnya bahkan, meja bundar dan tiga tong di dekat pintu, semua tertata rapi juga bersih mengkilap. Berapa lama dia tidur? Sansan melirik jam di dinding yang jarum pendeknya hampir menyentuh angka tujuh. Sangat lama, pikirnya.

Dia beranjak ke kamar mandi, lalu kembali dan duduk di tepian tempat tidur. Dipandanginya Ange yang sudah selesai shalat dan kini sedang membaca. Rambut perempuan itu basah, pakaian yang membalut tubuhnya juga sudah berganti dengan kaos merah muda bergambar panda dan celana selutut berwarna putih.

Gadis itu seperti boneka hidup, tidak heran Angga menggilainya, pikir Sansan. Mata besar dengan bulu lentik, juga kulit putih mulus, dan rambut legam sebahu yang apa adanya.

“Lu udah makan?” tanyanya.

Ange menoleh, lalu menggeleng. Sansan mengambil ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu memesan makanan.

“Di mana lu ketemu si s*etan?” Sejauh penilaiannya, tidak mungkin gadis seperti Ange berada di tempat-tempat yang biasa adiknya kunjungi.

Dari cara perempuan itu berpakaian saja sudah sangat menjelaskan, pikir Sansan. Ange selalu mengenakan rok atau dress longgar yang panjangnya di bawah lutut, nyaris melebihi betis malah, atasan sederhana yang dibalut lagi oleh jaket atau sweater panjang.

“Di supermarket, Kak. Waktu itu aku lagi jadi SPG susu buat masa otot.” Selanjutnya dia menjelaskan, kalau dirinya menawari Angga produk yang dijualnya. “Angga mau beli, asal aku ngasih nomor hape. Terus gitu, deh, jadi kenalan terus sering ketemu. Pacaran aja sampe delapan bulanan. Gak nyangka aku.”

“Lu kuliah sambil kerja?”

Ange menggeleng. “Susah jurusan aku kalo sambil kerja. Itu aku ikut-ikut event aja, Kak, kalo lagi luang.”

“Farmasi?”

Ange mengangguk sambil melirik deretan bukunya di rak ambalan yang menggantung di dinding atas. “Kakak ….”

“Kenapa?” Sebelah alis Sansan naik melihat gestur Ange yang tampak ragu.

“Kakak, emh … kerja apa?” Ange pernah mendengar dari Angga kalau Sansan tidak mendapat warisan sepeserpun dari Hengky yang merupakan pengusaha hotel dan restoran. Dia bahkan, diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak. Entah karena alasan apa, Ange tidak diberi tahu.

“Lu takut gak gue kasih makan?” sindirnya sinis.

Ange merengut, lalu beranjak duduk di tepian tempat tidur dekat dengan Sansan. “Bukan gitu, Kak.” Dia berpaling sambil memainkan ujung sprei. “Itu … biaya kuliahku mahal banget, Kak. Aku gak punya beasiswa,” ungkapnya ragu.

“Lu nodong gue nikahin biar ada yang biayain kuliah?” Datar saja Sansan bicara, lalu menyandarkan punggung di tumpukan bantal.

Ange menunduk dalam. “Gak gitu juga, Kak.” Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung mata Sansan. “Aku pengen bales Angga!” Bicaranya sangat cepat.

Seketika Sansan bangkit. Rahangnya mengeras.

***

Obsesi Adik IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang