Perihal Riki

577 73 21
                                    

Kamar si kembar terletak di lantai paling atas. Rumah dengan 3 lantai ini memang di khususkan untuk mereka. Sejak kecil Mama Ryn memang rewel soal ruang bermain anak-anaknya. Tapi sejak Evano dan Riki tumbuh dewasa, ruangan penuh mainan di rumah ini di sulap menjadi ruang lukis untuk Riki, ruang musik untuk Evano.

Tak ada barang lain di dalam kamar kecuali sebuah lemari, meja dan ranjang kingsize sebab barang-barang lain telah memiliki ruangan sendiri, menjadikan kamar si kembar terlihat lebih luas dan hampa.

"Lo nggak tidur ?" Suara serak dari Evano menarik perhatian Riki, laki-laki yang lebih tinggi darinya itu tengah berbaring di ranjang dengan selimut tebal sebab hujan sejak sore turun tanpa henti. Sedangkan Riki hanya menggeleng dan enggan membalas, ia lebih tertarik menyaksikan rintikan hujan yang membahasi jendela besar di dalam kamarnya, meski jam menunjukkan pukul 1 dini hari.

"Tutup gordennya, serem anjir." Karena di depan jendela itu terbentang pohon-pohon cemara yang tinggi dengan kebun yang lumayan luas. Luasnya kamar dengan suara hujan di luar ruangan memberikan kesan sunyi yang menenangkan untuk Riki, ia sama sekali tak pernah melewatkan saat-saat seperti ini, "Tidur gih, ngoceh mulu." Sahutnya. Dan Evano hanya berdecak sebelum akhirnya kembali membungkusi tubuhnya dengan selimut.

Suhu 18 derajat Celcius pada AC dan hawa dingin yang di pantulkan jendela besar di dalam kamarnya mampu membuatnya menggigil, seharusnya ia memang membuat kamar sendiri sebab Riki juga tak bisa tidur kalau suhu kamarnya terlalu panas, tapi ia tak akan bisa tidur jika tak ada Riki. Akhirnya melanjutkan tidur adalah pilihannya, "Jangan begadang lo." Katanya sebelum terlelap.

Sedang Riki hanya bergumam tak jelas, pikirannya melayang-layang ntah kemana. Akhir-akhir ini banyak sekali hal yang ia pikirkan hingga membuatnya sulit tertidur.

Apalagi ketika ia menemukan dirinya begitu berbeda dalam beberapa bulan belakangan ini.

"Van ?"

Hanya sunyi yang Riki dapatkan, menatap Evano yang telah terlelap kembali.

"Padahal gue mau ngomong sesuatu."

Mengapa susah sekali untuk membicarakan masalahnya pada orang lain ?

Drrtt..

Drrtt..

Drrtt..

Suara getaran ponsel mengalihkan pandangannya, Lantas menerka-nerka siapa seseorang yang menghubunginya jam segini ? Sebelum akhirnya berjalan menutup gorden dan bergabung di atas ranjang bersama Evano sembari melihat sambungan telfon yang telah mati.

Sebuah pesan tiba-tiba masuk. Hingga tak butuh waktu lama, Riki menerbitkan senyum kecilnya.

"Besok Kak Zic kemana, Rik ? Story nya lagi kemas kemas baju."

Pesan dari seorang gadis bernama Dara, sepupu jauh Riki dan Evano. Seseorang yang mencintai Zico dengan semangat 45, sayangnya hanya sebelah tangan.

Di sandarkannya punggung lebar Riki di tumpukan bantal, "Pergi muncak sama anak-anak Sabtu nanti." Balasnya.

"Kemana ? Lama ? Hehe nggak ada maksud apa-apa loh nanya aja ini. Lo ikut ?"

Pertanyaan beruntun yang lagi-lagi membuat senyum Riki terbit, lantas terlintas wajah kepo Dara di dalam kepalanya. Seandainya Evano tahu bahwa Dara tak pernah menyerah untuk mendapatkan hati Zico yang sekeras batu, pria itu mungkin akan tertawa terbahak.

"Siti khadijah aja pas suka Nabi Muhammad confesnya lewat Maisaroh, Dar. Lo kok ngegas banget confes sendiri ?" Adalah perkataan Evano setiap kali Dara berusaha mendekati Zico, padahal Riki sendiri tahu bahwa Evano juga menyukai Dara. Sayangnya Evano harus mundur telak-telak karena Dara adalah saudara sepersusuan dengan Evano dan Riki.

Kos Kencana Putra |Zerobaseone Where stories live. Discover now