Throwback 2

418 75 13
                                    

Mereka terlahir untuk menjadi keluarga, tentu saja. Tidak ada sebuah penyesalan ketika orang tua melahirkan seorang anak, sebagai manusia kita juga tidak bisa untuk memilih dari siapa kita terlahir. Seandainya kita terlahir untuk menjadi manusia yang sendirian dan berwarna abu-abu, maka sesungguhnya kita memang pantas dengan warna itu, bukankah Tuhan selalu memberikan takdir yang sesuai dengan takaran kita ? Seandainya kita memaksa untuk menjadi si warna kuning, belum pasti kita akan cocok dengan warna itu, bisa saja kita justru keberatan memakai warna "si kuning" untuk hidup kita.

Persis seperti mereka. Di atas balkon kamar, Mama Ryn menatap bagaimana anak dan ponakannya saling merangkul satu sama lain. Sepanjang hidup Mama Ryn, ia tak pernah menyesali hidupnya untuk terlahir di keluarga ini. Keluarga yang saaangat hangat.

Suatu ketika saat ia berumur 14 tahun, ketika ia pulang dari sekolah yang melelahkan bapak berkata seperti ini, "Pelangi itu ndak cuma warna merah kuning biru, ndak. Jangan jadi manusia yang menelan mentah-mentah penglihatan mu, yo ?" Kala itu, Mama Ryn memang tengah kesal karena ia selalu menjadi terbelakang, ia selalu kalah dari kakak-kakaknya, ia kalah dari Mbak Yuniar karena gagal menjadi seorang dokter, mimpinya justru di raih oleh kakak pertamanya. Lalu ia juga kalah dari Mbak Kinanti untuk menjadi seorang lawyer, meskipun sekarang Mbak Kinanti tidak lagi mendalami pekerjaan nya itu dan beralih menjadi dosen tapi bukankah kakak keduanya pernah menjadi nomor satu ? Sedangkan dirinya--pendidikan tinggi di luar negeri--tidak menjadi apa-apa. Ia hanya Ryna yang biasa-biasa saja.

Meskipun masih kecil, Mama Ryn tahu bahwa ia memang tak sepintar saudaranya, maka hari itu ia mengeluh kepada bapak yang sedang melukis. "Tapi Pelangi kan emang warnanya kaya gitu toh, pak ?"

"Kata siapa ?"

"Lhoo ini Ryn yang bilang."

"Lha itu, kesalahan kamu ya itu. Dengerin bapak, Pelangi memang dasarnya warna-warna mencolok." Kemudian bapak mengoleskan cat warna kuning di atas kanvas yang sudah di oles dengan warna biru terang. "Ada kuning, lalu biru." Lantas ia menatap anaknya dengan seksama, "lihat dua warna yang bertolak belakang ini berdampingan, nyambung, Ndak ?"

Ryn mengernyitkan dahinya dan berkata, "Ndak, Jelek."

"Hush, kamu lho sukanya begitu. Jangan menjudge apa-apa dengan sekali pandangan, ini bukan jelek tapi masih polesan mentah." Bapak mengambil sebuah papan kayu, beliau mengoleskan warna kuning dan biru lagi kemudian mengaduk keduanya hingga menjadi warna hijau, "Untuk membuat warna kuning dan biru bisa menyatu dengan cantik, kamu membutuhkan warna ketiga." Lagi, bapak msngoleskan warna hijau hasil penyatuan warna primer di antara warna kuning dan biru yang ada di permukaan kanvas. "Kamu butuh gradasi." Senyum tuanya terbit hingga membuat keriput di sudut matanya nampak.

"Kuning dan biru akan menghasilkan hijau sebagai penyeimbang warna mereka ketika bersinggungan. Ada hijau di tengah-tengah. Terus habis itu pelangi akan bagus ? Belum, kamu butuh bayangan putih samar untuk menghasilkan kilauan biar lebih cantik." Bapak mengusap-usapkan warna putih di atas warna hijau yang kabur sehingga menghasilkan gradasi warna yang smooth.

"Ryn, anak bapak semuanya punya warna masing-masing. Anggap saja yang biru adalah Mbak Yuniar dan kuning itu Mbak Kinanti. Dan kamu adalah penyatuan keduanya. Paham ndak ? Ndak perlu merasa kalau Mba Yuniar lebih baik daripada kamu, atau Mbak Kinanti lebih hebat dari kamu, bilang sama diri sendiri kalau kamu sama hebatnya iya toh ?"

"Bapak ndak ngerti." Ryn masih bersikukuh.

"Bapak lebih lama hidup dibandingkan kamu, bapak jauh lebih tahu. Ndak mahir melukis itu yo ndak apa-apa, ndak mahir masak juga ndak apa-apa. Kalau kamu merasa bakat kamu setengah-setengah yowes jangan sedih, kamu harusnya asah terus kemampuan kamu, semakin kamu asah semakin kamu mahir meskipun ndak profesional, iya toh ?kamu jadi serba bisa karena mencoba sana sini, kenapa Tuhan ngasih kamu bakat setengah-setengah ? Yo ben kamu sadar kalau manusia itu harus belajar dan berlatih, inget anak bapak itu punya warna masing-masing, semua orang juga gitu."

Kos Kencana Putra |Zerobaseone Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt