Simpuh Diri Memohon Pergi

328 59 27
                                    

"Riki koma, Tante Ryn masuk UGD, sekarang bakal apalagi?!"

"Sabar, Mas, ini musibah."

"LO PIKIR GIMANA SAKITNYA GUE KEHILANGAN BANYAK ORANG, SAND?! GUE GA BERGUNA!"

"Kita semua sakit. Lo lihat Arka yang maksa kesini buat ketemu Riki, lo lihat Wahyu yang rela ninggalin kuliahnya buat kesini. Semua orang sakit."

"Gue nggak berguna, sand."

"Kita semua nggak berguna, Mas, kita semua gagal."

🐼🐼🐼

Pada malam hari, Rumah Nini di ketuk dengan tergesa-gesa. Ia tak mempedulikan bagaimana tatapan mata patung Dwarapala  menajam menyambut kedatangannya.
Ia membutuhkan Nini sekarang.

Lantas tak berapa lama pintu rumah itu terbuka, membuat pemilik rumah terkejut atas kedatangannya, "Nini saya minta bantuan." Ia biarkan tubuhnya bersimpuh di hadapan wanita tua itu, meminta iba agar Nini mau membantunya sekali lagi.

"Tidak, Nak, sudah cukup. Jangan lagi, tolong ikhlaskan yang sudah pergi."

"Tidak, Ni. Saya mohon, saya tidak bisa membiarkan keluarga saya berantakan." Ia memegang kaki Nini Padmi, dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya sendiri.

ia takut, sangat takut pada kehancuran keluarganya sendiri. Ia takut kehilangan banyak orang, demi Tuhan.

"Apa maumu?" Nini menyamakan tinggi badan keduanya, mengusap kepala laki-laki muda yang malam itu nampak menyedihkan.

"Adik saya harus di temukan. Jika cara kemarin tidak berhasil, masih ada satu cara, kan, Ni? Bertukar jiwa. Saya rela, Ni asal adik saya kembali."

"Tidak, saya tidak bisa melihat seseorang menukar jiwanya sendiri. Saya tidak sanggup."

"Saya mohon." Suaranya semakin terdengar putus asa, bahkan mampu membuat Nini turut menangis. Ia menyerah pada takdir menyakitkan ini, ia tak kuat melihat keluarganya hancur berantakan.

"Hatimu lapang sekali." Usapan Nini di kepalanya begitu halus.

"Pikirkan sekali lagi, semua orang menyayangimu. Bahkan meskipun kamu berkata bahwa kamu akan menyelamatkan satu nyawa, tapi kehilangan kamu di tengah-tengah mereka juga menyakitkan untuk mereka terima." Seharusnya nasehat itu mampu memukul isi kepalanya yang rusak, tapi melihat keadaan Riki, tangisan Arka dan jerikan Tante Ryn di malam ketika Riki tak sadarkan diri terus menghantui isi kepalanya.

Ia tak sanggup, Ya Tuhan.

Tangannya bergetar, "Evano harus hidup lebih lama, Evano harus bahagia. Saya—saya sudah cukup bahagia, Ni."

Ia semakin menangis keras, berusaha menarik udara untuk masuk ke dalam paru-parunya, ia sesak. Ia takut kehilangan, ia takut berpisah dengan semua saudaranya, tapi ia lebih takut hidup dalam penyesalan sebab membiarkan adiknya hilang.

"Sang Hyang Widhi memberkatimu, Nak." Dan Nini Padmi membawa tubuhnya dalam pelukan, sebagai bentuk penghormatan bahwa ia manusia dengan hati paling lapang.

"Nini beri satu malam untuk berpikir kembali. Besok jika kamu keputusanmu memang sudah bulat datang kemari dan temui Nini seorang diri. Tapi lebih dari itu Nini berharap kamu tidak akan kemari."

Itu adalah pesan yang terakhir yang ia dapatkan sebelum akhirnya pulang. Ia harus memantapkan diri untuk ini. Yang pasti ia tak akan mundur apapun yang terjadi.

Sepanjang ia hidup, hal yang paling ia syukuri adalah terlahir dalam keluarga utuh dengan banyak saudara. Ia pikir, hidup dengan 8 orang laki-laki akan sangat merepotkan, ia pikir mereka akan berebut kekuasaan dan tahta keluarga, tapi beranjak dewasa mereka justru saling memeluk satu sama lain.

Ia pikir menjadi seorang kakak hanya sebatas peran dengan sebutan"Mas" sebab ia terlahir lebih dulu, tapi ternyata ia salah, menjadi yang dewasa sama artinya dengan mengayomi. Menjadi yang dewasa sama artinya harus berperan untuk membimbing adik-adiknya. Ia pikir ia akan terbebani dengan peran itu, tapi melihat bagaimana adik-adiknya adalah orang-orang yang manis, ia justru menangis, peran sebagai yang dewasa itu belum mampu ia selesaikan sebab adik-adiknya telah tumbuh dewasa dengan sendirinya, adik-adiknya terlampau hebat dan bertanggung jawab.

Maka pada sudut pandang yang lain, ia seolah gagal. Apa yang telah ia lakukan untuk membuat yang lain bahagia? Tidak ada.

Pada tengah malam, sepulangnya dari rumah Nini, ia membuka pintu kamar sebuah penginapan di mana mereka tidur untuk beberapa waktu di Jogja.

Tubuh lelahnya ia paksa melangkah. Ia berjalan pelan dalam gelap sebab saklar lampu di matikan, enggan mengganggu tidur nyenyak yang lainnya, ia membiarkan ruangan kamar tetap dalam suasana gelap sementara ia terus berjalan menghampiri ranjang.

Sejenak, ia menarik napas, duduk di tepi ranjang sementara adik-adiknya telah terlelap dalam tidur nyenyak.

"Mas sedih." Ia bermonolog dengan sepi.

"Mas mengecewakan. Maafin, mas, ya? Mas kira mas udah jadi kakak yang baik, tapi ternyata mas cuma menjalani peran sebagai kakak tanpa tahu apa arti kakak yang sebenernya."

Ia menangis kembali dalam kegelapan itu, sendirian. "Gue takut kehilangan kalian semua. Gue takut, kalian benci sama gue. Tapi ngeliat kalian yang hancur kaya gini, gue nggak bisa diem aja."

Dia menarik diri untuk berdiri, di pandanginya wajah saudara-saudaranya untuk waktu yang sangat lama. Merekam setiap jengkal wajah mereka dan menyimpannya dalam memori, agar tidak ada kerinduan yang akan ia tanggung saat pergi. Detik berikutnya, ia mengulurkan tangan untuk mengusap kepala mereka, "Gue harap kalian bakal hidup bahagia tanpa kehilangan lagi, janji sama Mas kalau—kalau kalian bakal bahagia, jangan saling benci. Jangan lupain, mas, ya?"

"Mas sayang sama kalian lebih dari apapun."

Ia tahu, hidup memang akan berakhir dengan mati. Dan mungkin takdir matinya memang sedekat nadi, ia tak akan lama lagi untuk berada di sini. Ia tidak akan bisa ikut merayakan ulang tahun Riki yang sebentar lagi akan datang. Ia tidak akan menyelesaikan pendidikannya sampai wisuda.

Sungguh ia tidak apa-apa, asal gantinya adalah kebahagiaan keluarganya. Maka ketika udara dingin semakin menyengat kulit, ia menorehkan tinta pena pada sebuah kertas di atas meja. Menuliskan berbait-bait kalimat untuk yang terakhir kalinya.

Perpisahan tanpa selamat tinggal itu menyakitkan, jadi ia tak ingin menyakiti siapapun itu.

Ia menuliskan surat ini sebagai tanda perpisahan, semoga mereka mengerti bahwa ini adalah jalan terbaik yang ia pilih untuk hidupnya, semoga mereka mengerti bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai kakak dengan baik.

2 surat yang ia tulis dengan tangan bergetar itu ia lipat dalam amplop, lantas menyelipkan surat itu pada sebuah tas miliknya.

Dan ia harap mereka membaca surat itu saat ia telah menyerahkan hidupnya.

Ya, harapannya seperti itu.

___________________

Tebak siapa dia?

Jangan lupa vote ya dan komen yang banyak.

Ini,
Lilyshen

Kos Kencana Putra |Zerobaseone Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang