Kita Pulang, ya?

346 61 30
                                    

Playlist : a.) Hello-Zerobaseone
                b.) Horizon - The boyz

_______________________________

"Riki udah sadar." Adalah sebuah pesan yang ia terima beberapa menit lalu.

"Iya, sampein ke Riki ya, Yu, kalau mas sayang banget sama dia." Dan sebaris kalimat itu ia kirim setelahnya. Meletakkan ponselnya pada meja, meraih secangkir teh hangat yang di sajikan sang pemilik rumah, menggenggam cangkir itu sebagai upaya menghangatkan tangannya yang dingin.

Pukul 4 sore lebih 10 menit, sunset sebentar lagi akan turun. Kegelisahan dalam hatinya tak kunjung reda, padahal ini adalah pilihannya. Namun di balik jaket jeans denim dan kaos putih yang ia pakai, ada tubuh yang berkeringat dingin, dadanya berdebar tak karuan.

Dia menunduk, haah, dan membuang napasnya pelan.

"Kamu bisa pulang jika tidak ingin." Suara perempuan dari balik tembok kayu berukiran cantik terdengar, setelahnya sosok berjarik batik Parang keluar, Nini Padmini.

Yang di ajak bicara hanya terduduk dengan kepala menunduk, menggenggam cangkir teh semakin kuat, "Bentar ya, Ni."

"Kamu ataupun dia yang pergi, akan sama-sama meninggalkan bekas kehilangan." Sekali lagi, Nini bersuara. Lalu duduk di samping laki-laki yang sejak 2 jam lalu menyambangi rumahnya. Nini kira, laki-laki itu akan memilih untuk tetap hidup, nyatanya, rasa sayang memang membuktikan segalanya, bahwa ada ikatan yang sama kuatnya seperti ikatan orang tua dan anak, yaitu ikatan saudara.

"Nak..."

"Ni, Kehilangan dia jauh lebih menyakitkan untuk keluarga saya dibandingkan kehilangan saya."

Lihat, bagaimana tekad itu membuat hati Nini juga ikut sedih. Lantas meskipun dengan berat hati, Nini mengiyakan permintaan laki-laki itu, Nini tahu pilihan hidupnya sudah ia pikirkan matang-matang bagaimanapun juga yang tengah duduk di samping Nini adalah laki-laki dewasa yang memiliki pemikiran panjang.

"Kamu sangat baik, semoga Yang Agung melindungimu dimanapun kamu berada."

°•°•°•

Senja mulai turun, warna orange bercampur jingga unggu sudah menyebar di setiap sudut langit bagian barat. Tentu, suhu udara akan semakin turun dan berhawa dingin. Hari itu, pantai sangat sepi. Seolah alam juga turut menunggu kejadian luar biasa yang akan terjadi.

Jarik Nini sudah basah separuh, tangannya membawa bunga wewangian. Laki-laki di sampingnya membawa piring berminyak kelapa yang akan ia hidupkan dengan sumbu untuk menghidupkan api.

"Sini." Nini merapatkan tubuh laki-laki itu pada dirinya. "Taruh piringnya di atas batu karang, biar Nini hidupkan apinya." Secara logika api itu harusnya mati, di terpa angin pantai yang agak kencang, namun kenyataannya api itu justru semakin membesar sebesar kepalan tangan.

Nini dan laki-laki itu mendudukkan diri, membuat separuh dari tubuhnya tenggelam dalam air. Lalu Nini berkata, "Langit adalah buku bumi. Kamu tahu apa artinya?" Laki-laki itu menggeleng, lantas ia merasakan tangannya di genggam erat Nini.

"Semua yang terjadi susah tercatat rapi di atas sana, dan yang akan terjadi juga sudah diperlihatkan di atas sana. Kelahiranmu juga telah tercatat, disambut semesta dengan cerah dan hari ini langit juga sama cerahnya. Kamu lihat?"

Laki-laki itu mendongak, dalam sekejap ia di buat ternganga menatap bentangan langit yang di penuhi dengan bintang-bintang, padahal seharusnya bintang-bintang belum bersinar seterang ini, harusnya nanti. Tapi yang terjadi sekarang adalah bintang-bintang itu tersebar dengan cahaya kelap-kelip. "Woah." Ia berdecak kagum. "Gimana rasanya naik bintang-bintang?" Matanya berbinar, lalu ia menerbitkan senyum ketika matanya menemukan bintang paling terang, Venus, menyala-nyala diantara yang lain.

Kos Kencana Putra |Zerobaseone Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin