Perjalanan Waktu 2

424 76 14
                                    

"Gue kayaknya ga usah kuliah deh, Rik."

"Dih ?! Orang udah masuk, nggak usah macem-macem lo!"

"Gue tu goblok, ga pinter bakal sambat terus pasti. Lo emang nggak budheg kalo denger gue sambat mulu ?" Di atas tempat tidur sembari merangkai lego bersama, Evano tiba-tiba saja berkata demikian. Ntah apa yang ada di dalam kepalanya. Karena kadang Riki sendiri tak pernah memahami apakah yang di katakan Evano itu sebuah lelucon atau keseriusan.

Evano memang luar biasa merepotkan.

"Lo pernah nggak sih Rik ? Sebagai orang pinter capek gitu ngelakuin sesuatu ?"

Pernah.

Ia pernah lelah karena tidak bisa berhenti.

Sayangnya kalimat itu masih tertelan dalam tenggorokan. Enggan Riki suarakan karena ia masih menunggu kalimat selanjutnya yang akan di ucapan kembarannya.

"Gue tau gue ga pinter, 60 x 3 aja kadang gue masih buka kalkulator buat nyari jawabannya. Maksudnya tu gue tau kalo gue terbatas dan gue berusaha amat.Sangat.Berusaha. buat belajar tapi ternyata gue capek gue nggak kuat, gue cuma memaksakan diri buat mampu. Akhir-akhir ini gue ngerasa kaya capek banget."

"Lo pinter." Riki bersuara.

"Masa sih ?"

Riki melentangkan tubuhnya, melupakan Lego yang belum terpasang sempurna dan memilih untuk menatap langit-langit kamar yang di penuhi lampu bintang-bintang. Ngomongin soal lampu bintang-bintang, itu adalah lampu hasil Evano merengek pada papa saat melewati pasar malam 3 bulan lalu. Sudah Riki bilang Evano itu luar biasa merepotkan tapi siapa kira kalau sosok itu justru yang sering membuat orang-orang tertawa.

Lupakan soal lampu, kembali ke topik. Riki menghela napasnya teratur, "Ga bisa matematika bukan berarti lo bodoh. Gue tahu gimana usaha lo buat jadi pinter, nggak bisa bahasa inggris juga bukan berarti lo bodoh. Sejauh ini lo selalu unggul soal sejarah, lo selalu unggul soal olahraga. Atau seandainya lo ga bisa pelajaran apapun bukan berarti lo gagal."

"Lo udah berusaha kaya kata lo, dan mungkin lo unggul dalam hal lain bukan dalam hal pelajaran. Lo unggul dalam bidang sosial, lo bisa bebas berinteraksi sama siapapun, lo banyak temennya, lo bisa membawa diri lo dengan baik. Lo pikir hal kaya gitu bukan termasuk kelebihan ?" Dan ini adalah kalimat panjang pertama yang Riki ucapkan hanya untuk menenangkan Evano yang saat itu tengah insecure. Karena biasanya Riki akan berkata yang singkat-singkat saja. Seperti "yang penting lo udah berusaha." atau lebih seringnya "semua orang punya kekurangan dan kelebihan."

"Tetap aja."

Riki berdecak, "Gini deh, gue kasih contoh. Orang pinter emang lebih kelihatan masa depannya gitu kan ? Makanya semua orang selalu pengen kelihatan pinter. Tapi lo nggak boleh lupa kalau pinter bisa kalah sama yang bekerja keras."

"Orang yang nggak pinter pun bisa sukses kalo dia mau bekerja keras. Ya emang waktu yang dia punya bakal lama tapi emang siapa yang bisa ngatur waktu kesuksesan seseorang ? Semua orang berasal dari kata 'gabisa' tapi karena sebagian orang yang 'gabisa' itu mau bekerja keras akhirnya mereka bisa jadi 'si profesional'. Van, Pemilik perusahaan besar pun awalnya belum jadi apa-apa mereka semua berasal dari kata gabisa karena tahu mereka gabisa, mereka jadi berusaha lebih keras lagi. Mereka cuma pengen mencoba mereka mungkin lupa tujuan mereka hidup karena dalam pikirannya cuma ada kata mencoba."

Evano masih menyimak dengan jelas sembari memasang Lego.

"Gue pernah baca kalimat kaya gini. Kalau nggak salah karyanya Alvishryn intinya kaya gini. Pendiri iPhone awalnya bukan siapa-siapa, dia cuma laki-laki biasa yang berusaha nyiptain sesuatu. Bertahun-tahun dia gagal tapi dia nggak pernah mau nyerah. Dia selalu nyoba setiap hari dan ga pernah absen buat nyari cara. Sampe dia muak sampe dia lupa sama cita-citanya tapi dia masih ga mau berhenti. Yang ada dalam isi kepalanya cuma 'seenggaknya gue mencoba.' Dia nggak pernah tahu di masa depan dia bakal jadi pemilik perusahaan besar iPhone."

Kos Kencana Putra |Zerobaseone Where stories live. Discover now