LDR 18.

26 5 1
                                    


LDR 18.

Menyibukkan diri dengan pekerjaan adalah cara melarikan diri yang paling ampuh bagi Ariana. Ia tidak ingin memikirkan banyak hal termasuk hari pertunangannya dengan Jo Tae Yong. Memikirkan banyak angka yang tersusun padat di dalam file saja sudah membuatnya sakit kepala. Sekretaris datang ke ruangannya untuk memberitahukan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya.

Ariana tertegun memandang ke arah orang tersebut.

"Selamat siang, Nona Go. Apakah saya mengganggu waktu Anda?" Pria bertubuh kekar itu menyapa lebih dulu. Penampilannya begitu rapi layaknya seorang pemimpin di sebuah perusahaan besar.

"Anda ...?" Ariana tampak berpikir untuk menerka siapakah pria yang mempunyai senyuman pipit itu.

Pria itu mengangguk. "Bagaimana kabarmu? Apakah kau masih mengingatku? Aku adalah Joon Jeong kakaknya Jeong Jimin," ungkapnya mewartakan.

Ariana tampak sumringah. Ia pun mendekat ke hadapan. Kini ia dapat mengingat dengan jelas sosok Joon Hyung yang sering Jimin ceritakan.

"Mengapa Anda ada di sini?"

"Aku ke sini karena untuk satu tujuan. Apakah kau bisa ikut denganku? Itu pun kalau kau tidak sibuk?" tawar Joon.

Ariana menoleh pada meja kerja. Ia tampak termenung sejenak atas tawaran Joon untuk ikut bersama. Tanpa bertanya ia pun menerima ajakan tersebut.

Ariana mengernyit ketika Joon membawanya ke rumah sakit. Sekali lagi ia tidak bertanya dan hanya mengikuti ke mana langkah kaki Joon yang berjalan di hadapannya. Mereka sampai di hadapan ruangan VVIP. Saat itu juga Ariana mulai gelisah tetapi ia belum jua mempertanyakan.

"Ariana." Kedua tangan kekar Joon menyentuh pundak Ariana..

"Dengar, tadinya aku tidak ingin ikut campur. Tetapi, setelah melihat situasi ini, aku tidak bisa kalau hanya diam saja."

"Apa maksudmu?" Ariana merasa heran.

"Baiklah, aku ingin memberitahumu sesuatu. Apa kau siap?" Joon ingin memastikan bahwa Ariana akan baik-baik saja. Ia kemudian memapah Ariana ke dalam ruangan. Ariana terpaku ketika di hadapkan pada seseorang yang tengah terbaring di atas kasur mewah rumah sakit. Dihiasi selang infus dan memakai ventilator. Hatinya berdegup lebih kencang. Irisnya membulat. Ia tahu bahwa orang itu adalah Jeong Jimin.

"Jim." Ariana sontak berkaca-kaca. Langkahnya seakan kaku menjadi kesulitan untuk mendekat. Tubuhnya bergetar hebat disertai air mata yang menetes berkali-kali.

"Jim." Ariana jatuh pingsan karena tidak kuasa menahan diri.

"Ariana!" Joon terperangah dan dengan sigap menahan tubuh Ariana yang tumbang. "Ariana, sadarlah!"

Joon membaringkan Ariana di atas sofa yang berada di ruangan itu. Joon juga memanggil suster untuk memeriksa keadaan Ariana.

Ariana pun siuman. Ia tetap terpejam merasakan kesakitan yang luar biasa. Bukan sakit karena tubuh yang terluka. Melainkan sakit karena melihat orang yang dicinta tengah terbaring lemah di atas brankar.

"Ari, minumlah!" Seruan itu sontak membuatnya membuka mata. Ariana sadar bahwa itu bukanlah Jeong Jimin. Joon membantunya untuk duduk secara perlahan dan memberinya segelas air mineral.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?" Joon duduk di sampingnya. Ariana mengangguk dan menaruh gelas air ke atas meja yang berada di hadapan.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau akan serapuh ini." Joon merasa menyesal.

"Sejak kapan dia seperti ini?" Ariana menatap nanar.

"Sejak kemarin. Orang kantor yang membawa Jimin ke mari. Ibu menghubungiku dalam keadaan menangis dan memberitahukan keadaan Jimin. Untuk itulah semalam aku langsung pulang dari Jepang ke Korea." Joon memaparkan.

Ariana termangu. Itu berarti Jimin dibawa ke rumah sakit saat ia sedang berada di kantornya.

"Kau tenang saja. Jimin akan baik-baik saja." Joon menepuk pundak Ariana secara perlahan. Ariana menundukkan wajah, irisnya berair dan menetes berkali-kali.

"Ini semua salahku. Andai saja aku tidak mengganggunya. Seharusnya aku menerima keputusannya untuk berpisah denganku." Ia terisak dan melirih.

"Sepertinya kalian hanya salah paham," seloroh Joon.

Ariana menggeleng dan menyeka air matanya. Ia beranjak dari duduknya dan melangkah ke samping tempat tidur Jimin, menggenggam salah satu tangan pria itu dengan erat. Sedang tangannya yang lain mengusap kening Jimin dengan lembut. "Maafkan aku, Jim," lirihnya.

"Adikku akan baik-baik saja, percayalah," ucap Joon.

Ariana mengusap air matanya. "Apakah dia sudah siuman?"

"Tentu. Dia seperti ini karena pengaruh obat. Dokter bilang dia hanya kelelahan. Jimin memang terlalu menyibukkan diri, dia menjadi gila kerja. Kenapa dia harus berada di ruangan seperti ini, itu semua karena ibuku. Sakitnya tidak parah. Bukankah itu sangat berlebihan?"

Ariana ternganga mendengarkan, sementara Joon hanya mengedikan bahu setelah menuturkan ucapanya tentang Jimin.

"Mengapa kau bicara seperti itu? Apakah kau sedang mengolok-olok? Walaupun kau kakaknya, tetapi aku tidak suka kalau ada orang mencelanya sedikit pun."

"Ah, aku tidak bermaksud seperti itu." Joon mengelak dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

Ariana tidak peduli. Ia menyentuh pipi Jimin dan mengusapnya dengan lembut. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk menatap wajah tampan yang meneduhkan itu. "Kau seperti ini karena aku. Aku sudah banyak menyakitimu. Mulai sekarang aku tidak akan mengganggumu. I'm promise." Ariana mengecup punggung tangan Jimin dengan penuh penyesalan. Ia kemudian berpamitan pada Joon dan memintanya agar tidak memberitahukan kehadirannya pada Jimin.

"Aku permisi." Ariana melangkah pergi.

"Ariana!" Joon memanggilnya. Ariana pun berbalik ke hadapan. "Terima kasih sudah mencintai adikku seperti itu," pungkas Joon disertai senyumannya yang manis.

Ariana pulang ke rumah orang tuanya yang disambut langsung oleh kabar gembira bahwa ayahnya sudah berada di rumah. Ia tampak bahagia sekaligus terharu melihat kondisi sang ayah yang sudah pulih walaupun kini harus menggunakan kursi roda.

Sang ayah mengulurkan kedua tangannya ke hadapan Ariana, berharap bahwa sang putri akan sudi menyambutnya dengan hangat. Ariana tersenyum simpul, kemudian mendekat dan berjongkok di hadapan lalu mencium salah satu punggung tangan sang ayah. Tidak banyak kata-kata yang terucap. Ariana meletakan kepalanya di atas lutut sang ayah untuk merasakan usapan lembut dari tangan pekerja keras yang sudah memberinya banyak keinginan. Saat itu Ariana telah berjanji dalam hati, bahwa ia akan mencukupkan diri dari mengejar mimpi dan kedudukan untuk menggantikan ayahnya di kantor.


***

Joon Jeong.

Joon Jeong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang