Dasi 17

1.5K 240 213
                                    

Selamat malmingan sama Pawis dan Rayyan~





"Mug bebek ini punya Kak Rayyan. Aku udah jaga mugnya sampai sekarang, sesuai janjiku dulu."

Detik jarum jam berdetak.

Rayyan kehilangan waktu saat ia menahan napas.

Pak Wis mengamati leher dan dada Rayyan, tahu Rayyan sedang tercekat napasnya. Tahu bahwa ia telah mengucapkan hal yang mengungkit sesuatu pada Rayyan. Tahu bahwa ia sudah menutup pintu, mengurung Rayyan di areanya agar tak bisa melarikan diri.

Rayyan menarik napas perlahan, mengembuskannya perlahan.

Akhirnya, Rayyan berkata, "Shouki—Pak Wis, terima kasih udah jaga mug-mug ini."

Rayyan mengambil mug bebeknya dari meja. Melihat mug bebek dan mug kucing di tangannya, ia memeluk kedua mug itu erat.

"Semua janji itu ada di masa lalu," lanjut Rayyan. "Dan semuanya udah selesai sekarang. Apa pun yang pernah terjadi di antara kita ... saya minta maaf. Saya sangat minta maaf. Saya rasa Pak Wis juga sudah move on dari saya. Mari kita buka lembaran baru."

"Deal." Pak Wis mengangguk. "Aku juga udah lama move on dan udah buka lembaran baru. Apa pun yang terjadi di antara kita cuma kenangan yang enggak perlu dibahas lagi."

Rayyan merasakan tenggorokannya menyempit, tetapi ia mengangguk.

"Bentar lagi aku nikah, Kak," tambah Pak Wis.

Rayyan tersenyum tipis.

"Kanaka orang yang aku cinta sekarang. Karena dia, alhamdulillah aku bisa move on dari masa lalu. Kanaka yang mengobati lukaku."

Rayyan mengangguk lagi.

"Bertahun-tahun aku kerja keras, berjuang untuk melamar Kanaka, untuk bisa diterima keluarganya, sebentar lagi penantianku berakhir. Aku beruntung bisa ketemu Kanaka—"

"Kanaka juga beruntung bisa ketemu kamu," potong Rayyan pelan.

Mereka saling pandang dalam diam.

"Saya tau ... saya tau kamu cinta dan serius dengan Kanaka. Seingat saya, kamu orang paling setia kalau udah jatuh cinta sama satu orang. Kamu enggak akan pernah ninggalin dan mengkhianati orang itu. Saya doakan kamu bahagia sama Kanaka."

"Amin. Semoga kak Rayyan juga bahagia."

Rayyan tersenyum, lalu menelan ludah. Rasanya seperti menelan batu.

Jeda sebentar.

"Kenapa ... kemarin bantu saya? Take down berita-berita negatif dan kontrol hate comments di media," tanya Rayyan.

"Meski udah move on dari masa lalu, janji tetap harus ditepati. Aku pernah bilang, kan? Enggak ninggalin Kak Rayyan kalau kesulitan, dukung sebisaku."

Rayyan mengangguk lagi, lalu merasa heran kenapa ia begitu banyak mengangguk sejak tadi.

Tetapi itu lebih baik daripada bergeleng.

"Terima kasih untuk semuanya, Pak Wis. Semuanya–masa lalu dan masa sekarang. Saya berutang budi banyak pada Bapak."

"Enggak ada utang budi. Janji udah ditepati, utang udah lunas ... so," Pak Wis berdeham, mengerlingkan matanya kembali ke laptop, "saya rasa cukup? Makasih tehnya. Silakan diteruskan pekerjaannya, Mas Rayyan."

"Baik, Pak." Rayyan mengangguk sekali lagi, semoga ini terakhir kalinya ia mengangguk-angguk. Rayyan mundur, mundur, hingga ia bertemu pintu keluar. Ia tak boleh membiarkan napasnya tercekat lebih lama di ruangan ini.

Tampan Berdasi (MxM)Where stories live. Discover now