39. SEMAKIN KESAL

6 2 0
                                    

Aku mondar mandir di depan rumah. Hari telah mulai gelap. Seharusnya Bang Rafka sudah kembali.

" Dia bukan cowok bodoh yang akan berjalan kaki puluhan kilometer. Ia bisa memesan taksi dan membayarnya di rumah kan? "

" Akhhhh Bang Rafka lo di mana sih?!!! Jangan buat gue kawathir bodoh!! "

Jeritku sambil menarik rambutku frustrasi. Aku terduduk di teras rumah dan menangis.

Aku menyesali apa yang ku lakukan pada Bang Rafka. Aku sudah keterlaluan padanya kali ini. Pemikiran buruk sedang memenuhi otak ku saat ini.

" Raka "

Panggil seseorang membuatku mendongak. Melihat wajah mama yang terlihat kawatir aku memeluknya erat.

" Ma..... maafin Raka "

" Ada apa sayang? "

Papa terlihat mengkerutkan keningnya dan menghampiri kami.

" Loh Bang Rafka mana? Udah pulang ka? "

Tanya Papa yang membuatku semakin ketakutan karena rasa bersalah ku sendiri.

" Ba...Ba....Ba....Bang Raf..Raf..Rafka.... Ra....Rak...Raka tinggalin di sekolah Pa "

Kataku dengan gemetar. Mama mengurai rengkuhannya. Kemudian mengguncang bahuku seolah bertanya.

" Tenang dulu Ma, biar papa telepon "

Kata Papa suara nada dering itu berbunyi agak keras. Papa mencari sumber suara kemudian membuka pintu mobil. Ia melihat dompet beserta handphone Bang Rafka yang tertinggal.

" Kenapa handphone sama dompetnya juga tertinggal? "

Kata Papa kemudian berbalik menatapku tajam.

" Kamu ninggalin Abangmu tanpa dompet dan hp? Keterlaluan kau!!! "

Kata Papa dengan geram dan mengepal tangannya dengan erat seolah ingin menghajarku hingga habis. Mama menatapku tak percaya.

" Maaf Ma! "

Plakkk!!!

Sebelum bogeman mentah dari papa melayang ke wajahku.  Tamparan keras dari mama telah membuat pipi kiri ku terasa kebas.

Aku memegangi pipiku yang memanas akibat tamparan keras yang membuatku berpaling ke arah kanan. Papa menatapku nyalang.

" Bagaimana bisa kau meninggalkan Abang mu di sekolah hah? Tanpa handphone dan dompet !!."

Sentak mama kemudian di rengkuh oleh papa. Mama menangis histeris tak lama kemudian tubuhnya luruh.

Aku dan Papa panik. Aku ingin  membantu Papa.

" Biar Papa saja! Kau cari  Abangmu. Jangan pulang sebelum kau membawa serta Abang mu dalam keadaan baik baik saja!!! "

Aku menatap nanar ke arah punggung Papa yang hilang di balik pintu.

" Yang sabar ya Den "

Kata tukang kebun yang sudah bekerja disini lumayan lama. Hanya tukang kebun inilah yang mengetahui perangai Bang Rafka hingga ia dewasa.

Aku mengangguk sembari tersenyum kemudian menghapus air mataku kemudian pergi.

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata rata. Aku tak peduli dengan orang orang yang memakiku karena berkendara ugal ugalan.

Sesampainya di sekolah aku memarkir mobil ku asal kemudian bergegas ke pos satpam.

" Pak Lihat Bang Rafka gak tadi siang? "

bukan dia yang aku inginkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang