21. MARAH

6 2 0
                                    

Aku mengurung diriku di dalam kamar selama seharian. Iya kemarin aku tak sekolah lagi.

" Raka..... Kamu gak papa? Dari kemarin belum makan!! Ayo keluar Raka. Buka pintunya "

Aku tak mau menghiraukan mereka.
Percuma saja mereka marayuku aku tak akan keluar sebelum hatiku tenang.

" Sayang!! Buka pintunya atau papa dobrak nanti "

Aku mendengar mama terisak. Dan seruan minta maaf dari Bang Rafka membuat hatiku sedikit luluh.

Tubuhku serasa melemas aku ingin membuka pintu itu. Tapi baru baru saja aku berdiri dari pembaringan duniaku serasa berputar kepalaku sangat pusing. Aku terjerembab ke lantai.  Gedor an pintu itu terdengar keras lama kelamaan terdengar pelan. Perlahan semuanya gelap.

Aku mengerjapkan mataku berulangkali menyesuaikan sinar lampu yang yang memasuki pupil mataku. Aku memandang Bang Rafka yang tertidur di bangku pojok ruangan bernuansa putih ini. Apalagi mama dan papa yang sedang tertidur di samping kanan kiriku.

" Maaafin Raka ya ma, pa, bang, sudah bikin kalian kawatir. Raka cuma gak mau ngalah terus sama Bang Rafka. Kan Raka adeknya masa Raka terus yang ngalah "

Ujarku kemudian kembali memejamkan mata. Namun belum tertidur tiba tiba ada tangan yang memegang kening ku.

" Maafin Bang Rafka ya ka selalu bikin lu kesel, marah sampai lo sakit kaya gini "

Tangan itu mengelus rambutku pelan.
Ada sesuatu yang basah jatuh di pipiku. Sepertinya air mata. Apa bang Rafka menangis. Ia melap air mata yang jatuh di pipiku itu dengan tisu kemudian ia melenggang pergi. Ketika aku mendengar suara pintu kembali tertutup aku langsung membuka mataku lebar.

" Loh Raka, kamu udah siuman sayang? Dokter dokter "

Teriak mama heboh membuat papa tersentak kaget. Setelah beberapa menit dokter datang dengan tergopoh kemudian mengecek kondisiku.

" Jangan telat makan lagi ya!  Makan nya yang teratur dan jangan lupa obatnya di minum "

Kata dokter perempuan itu aku tersenyum saja menanggapinya. Setelah dokter itu keluar mama memeluk ku erat.

" Kenapa sih sayang? Ngurung di kamar gitu? "

" Ada problem di sekolah "

Jawabku beralibi mama mengurai pelukannya.

" Kamu aja kemarin gak sekolah dua hari. Problemnya di mana coba "

" Problemnya dua hari yang lalu kok!"

Papa geleng-geleng kepala kemudian.

" Raka itu pipimu kenapa berdarah? "

Tanya papa kepadaku aku langsung reflek memegang pipiku tapi kering namun sedikit lengket. Papa mengambil tisu basah di meja samping pembaringan ku.

Papa melap pipiku dan memperlihatkan bekas merah pada tisu yang tadi di gunakan untuk mengusap pipiku.

" Jangan jangan Bang Rafka "

Gumanku kemudian. Tak lama Bang Rafka kembali masuk. Anehnya ia memakai jaketnya padahal jelas jelas sekarang ini tengah hari tentunya panas dan gerah.

Aku menatap hidung Bang Rafka yang memerah memperkuat dugaan dalam pikiranku.

" Darimana aja bang? "

Tanya papa kemudian membuang tisu yang di pegangnya.

" Dari toilet pa, papa gak kembali ke kantor?. Biar Raka Abang yang jaga "

Papa tersenyum kemudian menatap mama. Papa menelusupkan rambut mama ke belakang telinga.

" Kalian jagain bidadarinya papa ya "
Aku dan Bang Rafka memutar bola mata malas.

bukan dia yang aku inginkan Where stories live. Discover now