Bab 1

645 57 8
                                    

Cerita baru ini alurnya ringan lagi ya, aku uploadnya juga nyantai, gak tentu. Bisa seminggu dua kali atau mungkin sekali.
BTW YEE aku lupa udah pernah bilang apa belum, aku tuh nulis dari word dulu baru ku copas di wp, jadi tanda bacanya agak beda. Terutama tanda petik, kalo langsung ngetik di wp tuh begini (" ") nah kalo word (“ ”). Gak penting sih, cuma kalo aja ada yang sadar🤣

Wes lah monggo dibaca.

**
Tanganku terus bergerak merangkai gulungan benang menjadi bentuk bunga tulip dengan hakpen. Musik keroncong kuno terus menggema keseluruh ruangan toko. Bukannya bersemangat, aku malah semakin mengantuk.

Tiba-tiba tarikan rambut dari atas kepalaku membuat mataku terbangun seketika “Aduh!!”

“Heh! Jangan tidur. Pesenannya gak keburu jadi kalo kerjanya kayak kamu.”

Suara seorang wanita paruh baya yang tenaganya bagai kuda, membuat seluruh saraf di tubuhku menjadi aktif kembali.

Tanganku mengusap bagian kepala bekas tarikannya. “Makanya ganti dong buk lagunya. Dari dulu lagunya Rangkaian Melati terus. Ini lama-lama bentuk tulipnya malah jadi melati beneran!”

Wanita paruh baya yang ku panggil "buk" adalah ibuku sekaligus bosku. Dan saat ini aku sedang menyelesaikan pesanan rajutan gantungan kunci bunga tulip sebanyak seribu buah. Ini pun hanya sebagian saja, pesanan aslinya adalah 3000 namun sisanya dikerjakan oleh karyawan ibu, itupun hanya satu.

Ibuku mengelola sebuah toko souvenir dan peralatan menjahit. Tidak besar memang, kami pun tidak pernah mengambil banyak pesanan karena souvenir yang kami buat memang murni buatan tangan bukan buatan mesin apalagi AI. Intinya pekerjaan ini memang banyak menghabiskan waktu mudaku. Mungkin sampai tua nanti aku akan terus merajut bunga-bunga tulip ini. Jangan-jangan kuburanku nanti akan di taburi rajutan berbentuk melati.

Yang pasti rajut merajut dan perbenangan melekat di hidupku.

“Sssttt ... karyawan dilarang protes." Ibuku kini meraih tas jinjingnya yang tergeletak di atas etalase toko. "Kamu sambil jaga toko ya? Ibu arisan dulu sama bulekmu. Nanti kalo Ibu lama perginya, Didip Ibu suruh ke sini.”

Aku hanya mengangguk menyetujui bosku yang super sibuk dengan acara bunda-bundanya itu. Lagipula nanti akan ada Didip yang menemaniku. Didip adalah anak dari bulekku. Nama aslinya Adipati Manunggal Joyo.

Sangat Jawa bukan?

Keluarga kami memang asli Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Untuk itu nama-nama dalam keluarga kami harus ada unsur Jawanya. Salah satu contohnya ya nama Didip tadi, nama aslinya bahkan terdengar seperti nama toko emas saja. Namaku tentu tak kalah jawani yaitu Kenaka Surtikanthi.

Pemberian namaku ini hasil kolaborasi dari bapak dan eyang kakung, tentunya eyang kakung yang memberi nama belakang kami, itupun sedikit direvisi oleh bapak saat sudah di kantor kelurahan.

Untung saja eyang kakung hanya ikut andil pada bagian belakang saja. Jika tidak, mungkin namaku Suminten, Larsinah, Darminem dan nama wanita Jawa klasik lain. Padahalkan menurutku, aura yang terpancar dari diriku ini cocok jika dipanggil Jesica, Selena, Hayle atau Taylor. Namun aku terlanjur di panggil Keken oleh sebagian keluarga dan teman. Eyang kakung dan eyang putri sendiri malah memanggilku Titi, dan yang paling kurang ajar adalah Didip karena dia memanggilku...

“Surti!!”

Benar-benar datang di waktu yang tepat Didip ini. Panggilan itu tak mengganggu kegiatanku merangkai benang-benang menjadi bentuk bunga Tulip.

“Sok sibuk banget sih Surti ini.”

Tangan Didip dengan kurang ajarnya mendorong kepalaku hingga bergerak ke depan. “Diem lah Dip!”

Jawa-Jawa KotaWhere stories live. Discover now