Bab 8

153 26 5
                                    

Sejak membuka mata tadi tubuhku rasanya terasa sangat berat, sampai menggerakkan tangan saja aku malas bukan main. Bukan karena Didip yang mendekapku semalaman hingga kupikir aku mengalami tindihan.

Saat terbangun aku malah sudah tidak menemukan keberadaan Didip di atas kasurku. Aku sedikit terheran karena selama menjadi sepupu Didip, belum pernah sama sekali aku melihat Didip bangun lebih awal dari diriku sendiri.

Entah Didip bangun lebih awal atau aku saja yang hari ini bangun terlambat.

Yang pasti sosok pemuda pemuja janda itu kini bahkan sudah menyisir rambut di depan kaca rias sambil melakukan pose-pose narsis.

“Udah jam berapa ini Dip?”

“Setengah 7,” jawabnya masih mengarah pada kaca.

Aku mengangguk mengerti dengan jawaban Didipku. Tubuhku kini mulai bangkit dari posisiku berbaring dan beringsut duduk. Kedua tanganku kudorong ke depan dada dan kuregangkan untuk melemaskan otot-otot yang sedikit terasa kaku. Perlahan kedua kakiku kubawa turun menapak pada lantai kamar, menumpu tubuhku untuk berdiri.

Sebelum benar-benar meninggalkan kamar, aku meraih selimut yang masih berantakan untuk kulipat.

Berkat kegiatan ini, mataku malah menangkap noda darah pada permukaan seprai kasurku.

Pikiranku melalang buana, semalam aku dan Didip tidur bersama, Didip tidur dengan mendekapku, Didip mempunyai otak sekotor kamar mandi umum yang tidak dibersihkan berbulan-bulan.

Jangan-jangan!

“Dip lo ngapain gue semalem!?” tanyaku sedikit dramatis pada Didip.

Sosok yang ditanya dengan nada dramatis seperti itu sontak saja menghentikan pose-pose narsisnya dari kaca yang aku yakin sedikit lagi akan meledak sangking terlalu lama melihat pantulan dari sosok Didip.

“Apaan sih Sur... lo curigaan terus sama gue. Gak gue apa-apain lah!” jawab Didip yang kini sudah menoleh ke arahku.

Tanganku segera menunjuk pada darah di seprai.“Trus itu darah apa Dip?! Lo liat kan? Lo tau kan darah yang keluar dari cewek tuh darah apa?!”

Didip melihat kearah seprai yang kutunjuk. Setelahnya ia kembali menatap ke arahku dan kini malah dengan santainya tangan Didip memegang kedua bahuku, memutar tubuhku untuk membelakanginya.

“Lo ngapain sih, lepasin lo jangan pegang-pegang gue lagi!” Kugerakkan bahuku agar tangan Didip terlepas dari sana.

“Ck...ck...ck... Surti... surti... lo kurangin deh nontonin sinetron, otak lo jadi gak berkembang gini. Darah yang keluar dari cewek bukan cuma darah perawan. Kalo-kalo lo lupa cewek tuh mens tiap bulannya. Liat tuh celana lo!”

Aku buru-buru menggeser tubuh Didip menjauh dari depan kaca untuk melihat pantulan tubuhku dari belakang.

Benar saja, warna merah sudah menodai bagian celanaku terutama di bagian belakang. Didip menatapku dengan datar, sementara aku yang tidak mau merasa kalah begitu saja, langsung meninggalkan Didip dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri serta menyembunyikan rasa maluku.

Akhirnya terjawab sudah mengapa semalam aku uring-uringan dan begitu sensitif.

**

Setelah membersihkan tubuhku di dalam kamar mandi, aku tak menemukan keberadaan Didip di dalam kamarku. Bahkan saat keluar dari kamar, tak ada tanda-tanda keberadaan Didip di sekitar.

Buktinya bulu kudukku tidak meremang.

Aku hendak mencari ibuku untuk menanyakan keberadaan Didip, namun segera ku urungkan. Mengingat Didip datang saat tengah malam mungkin saja ibu, bapak, serta mas Abi tidak tahu bahwa Didip menginap semalam. Akhirnya aku mencoba berkeliling menelusuri rumah secara diam-diam agar tidak ada yang tahu bahwa aku mencari keberadaan Didip, terutama mas Abi.

Jawa-Jawa KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang