Bab 10

192 26 3
                                    

Mumpung libur mari kita kita baca cerita receh biar hidupnya gak pada tegang 😄. Jangan lupa juga vote ceritanya biar aku tambah semangat nulisnya🤗

**

“Halo pengangguran!”

Mataku yang masih fokus menatap ponsel melirik sekilas pada sosok yang menyapaku dari arah pintu kamar. Si pengganggu itu lagi. Aku tak begitu menanggapi sapaan dari laki-laki yang kini melangkah mendekat ke arahku.

“Sombong amat...  kelamaan nganggur sekarang judi online ya lo?!”

Tiba-tiba ponsel yang tadinya berada di dalam genggamanku raib dan pindah ke tangan lain.

“Dip! Gak usah rese deh lo!”

Didip melihat isi ponselku yang  menampilkan akun media sosial perempuan yang kuduga adalah pacar Mario tadi. Setelah dua jam pencarian nama dari perempuan itu, aku akhirnya menemukan nama dan akun media sosial miliknya.

Pencarian tentunya di mulai dari daftar pengikut dan mengikuti Mario di media sosial. Pengikut Mario yang cukup banyak membuat mataku menjadi sedikit buram karena terlalu banyak membaca nama akun yang cukup memusingkan. Tak hanya itu akupun mengecek setiap foto kegiatan Mario yang ia upload di media sosial. Untungnya aku menemukan wajah perempuan itu di salah satu foto pelantikan organisasi kampus. Aku langsung mengecek daftar tag di foto itu, tak butuh waktu lama aku langsung tahu siapakah perempuan yang telah membuat hatiku patah hati terhadap Mario.

Namanya Bunga Mandalia Renata.

Dan memang benar Bunga ini adalah adik tingkat dari Mario di kampusnya, kurasa juga teman satu organisasinya.

Aku yakin Bunga ini pasti tipe-tipe adik tingkat yang suka tebar pesona pada kakak tingkat hingga menjerat laki-laki sekeren Mario.

Hih! Sebal sekali rasanya!

”Lagi ngepoin orang ternyata... Enak ya Sur nganggur bisa kepo masalah orang.”

Dengan cepat aku kembali merebut ponseku dari tangan Didip. “Siapa juga yang nganggur? orang gue cuti kerja. Gue gak kepo juga kali. Ngapain lo ke sini?”

Didip duduk di pinggir ranjang tepatnya di samping kakiku. “Nengokin lo lah Sur... Gimana lo udah mendingan?” Kepalanya kini mengarah padaku.

Aku mengangguk. “Udah.... Sebenernya gue udah ngerasa sehat banget sih. Besok mungkin udah ke toko, bosen tau di rumah sendirian.”

Didip mengangguk-anggukan kepalanya tanpa menimpali ucapanku. Tangannya kini melepas kancing pada pergelangan tangannya dan menggulung lengan bajunya hingga sebatas siku, selain itu ia pun membuka satu kancing kemeja atasnya.

Setelahnya Didip beranjak dari ranjangku menuju ke depan kaca meja rias. Mataku mengikuti kegiatan Didip yang agak tidak biasa ini.

“Gak ada yang nengokin lo lagi Sur?”

Aku makin bingung karena tingkah Didip ini. “Gak adalah! Temen-temen gue kan kebanyakan udah pada nengokin pas di rumah sakit kemaren. Sodara-sodara kita juga udah semua, kecuali yang di kampung.”

“Oh...”

“Kenapa sih Dip?” karena aku penasaran, aku tidak bisa menahan untuk tidak bertanya pada Didip saat ini.

“Enggak cuma nanya aja, kali aja ada yang mau ke sini.”

“Misalnya?”

“Ya... Guru Iqro lo kek... siapa kek...kenalan lo gitu.”

Aku berdecak malas, guru Iqro yang di maksud tentu mbak Khansa.

Sudah pasti kedatangan Didip ke sini pasti memiliki maksud tertentu.

Jawa-Jawa KotaWhere stories live. Discover now