Bab 4

180 32 1
                                    

Mulai lanjutin cerita ringan ini lagi. Semoga kalian suka ya... jangan lupa pencet tombol votenya biar aku tambah semangat lagi nulisnya🫶😉

**

Sarapan di rumah pagi ini aku harus tergusur dari kursi makan rumahku sendiri. Ini semua tidak lain tidak bukan karena kehadiran Adipati Manunggal Joyo, yang kini menikmati sarapan buatan ibu tanpa merasa bersalah karena telah mengambil hak duduk pribumi rumah ini.

Sebagai pribumi yang sudah tergusur dan tidak kebagian kursi, aku terpaksa harus menyeret sebuah kursi plastik yang ku tempatkan tepat di sebelah Didip. Aku sengaja melakukan ini agar Didip tersindir dan sadar karena telah mengambil hak tempat dudukku. Mungkin kedengarannya begitu sepele, namun bagiku ini bukan hanya masalah kursi makan, tetapi hak yang harus kuperjuangkan sampai titik darah penghabisan.

Memangnya cuma kursi legislatif saja yang perlu diperjuangkan? kursi makanpun harus diperjuangkan!

Ibu, bapak dan mas Abi masih fokus menyantap sarapan. Sementara aku yang tadinya ingin terus-terusan menatap Didip dengan pandangan mematikan agar dirinya terganggu dan segera sadar akan kesalahannya, memilih untuk menyerah dan ikut menyantap sarapan.

Benar juga sih... hal sepele semacam ini tidak perlu dibesar-besarkan, aku malah jadi repot sendiri. Kalau tetap aku perjuangkan, malah pagi ini aku yang kelaparan.

Tidak lama setelah aku memutuskan pandanganku pada Didip, kini kakiku merasakan tendangan-tendangan kecil. Pandanganku segera melirik ke bawah meja dan menemukan bahwa pelaku tendangan kaki itu adalah sosok yang juga telah mengambil hak tempat dudukku.

“Apaan sih!?” Aku berbisik tajam pada Didip.

“Gue kayaknya jadi masuk angin gara-gara tidur di kamar mas Abi.”

“Mampus!” Karena tak bisa menahan rasa kesalku untuk mengeluarkan sumpah serapahku pada Didip. Suara yang ku pikir berbisik, nyatanya malah terdengar oleh ibuku yang kini membelalakan matanya ke arahku.

“EH...EH...Kok omongane koyo ngunu to nduk?!”

(Kok bicaranya kayak gitu sih nak?)

Meski menurutku kata-kata yang kulontarkan pada Didip tidak termasuk kata kasar, bagi ibu yang merupakan orang dengan genetik jawa alus, kata-kata itu termasuk daftar merah ucapan yang perlu dihindari. Aku yang tertangkap basah segera mencari alasan untuk membela diri. “Eng...gak bu, orang ... mpus... Iya Didip mau beli kucing.”

“Gak usah bo'ong, orang kuping ibu ini masih normal... Jangan di biasain ngomong kasar begitu sama Didip, biarpun “Awu” kamu lebih tua, itu cuma silsilah aja. Kamu tetep hormatin dia dari umur.”

(Awu = Tingkatan keturunan)

Aku mengedarkan pandanganku ke meja makan, Mas Abi dan bapak nampaknya tak ambil pusing dengan kejadian barusan. Sementara Didip terlihat tersenyum penuh kemenangan.

Didip pasti merasa di atas angin saat ini.

Aku tahu sejak dulu dia ingin sekali di bela semacam ini, jiwa tuanya selalu ingin di panggil mas dan dihormati oleh daun-daun muda,  padahal seleranya saja janda yang usianya lebih tua. Seperti itu kok mau di panggil mas? Yang benar saja.

“Nggih bu ... Kulo nyuwun ngapunten.” Tanganku menangkup di depan wajah dan mengarah pada ibu, seperti abdi dalem saat menghadap Gusti Kanjeng Ratu.

(Iya bu... aku minta maaf)

Logatku mungkin akan terdengar aneh jika dengar oleh orang jawa native speaker. Meski ibu dan bapak sering menggunakan bahasa jawa pada percakapan sehari-hari, namun itu tidak berlaku denganku. Aku hanya mengerti artinya saja, namun mulutku tidak begitu lancar saat mengucapkan bahasa jawa secara langsung. Berbeda dengan mas Abi yang sangat fasih menggunakan bahasa jawa. Dari bahasa jawa ngoko sampai krama alus. Mungkin karena mas Abi dulu sempat tinggal bersama eyang di kampung hingga bahasa Jawa mas Abi lebih fasih.

Jawa-Jawa KotaWhere stories live. Discover now