Bab 6

166 25 2
                                    

up sebelum libur lebaran... jangan lupa votenya ya!!😉

***

“Mana!”

Astaga! Tubuhku berjengit kaget. Malam hari yang harusnya menjadi sebuah momen untuk menenangkan seluruh anggota tubuhku malah ternodai oleh sebuah teriakan.

Suara itu muncul dari arah belakang tubuhku yang sedang duduk pada sofa ruang televisi.

Mataku mendelik begitu melihat kehadiran sosok si empunya suara yang kini telah berdiri di sisi kiri sofa. Pakaian kerja Didip masih membalut tubuhnya, tas kura-kura ninjanya bahkan masih menempel di punggung sang penakluk janda.

Aku tahu tujuan Didip berkunjung saat ini.

Sudah pasti mau menagih janjiku perihal nomor ponsel mbak Khansa.

Tentu saja tak akan kuberikan.

Kupikir-pikir lagi lebih baik mengkhianati janjiku daripada menjerumuskan wanita muslimah ke tangan manusia setengah Dajjal ini. Lagipula aku belum sempat meminta izin pada mbak Khansa tentang hal ini. Aku tidak mau sembarangan memberikan ponsel kenalanku kepada orang lain, meski notabenenya aku sudah mengenal Didip. Tetap saja nomor ponsel adalah hal yang bersifat pribadi, kecuali jika memang nomor yang mbak Khansa berikan digunakan untuk bisnis sih...aku rasa boleh-boleh saja.

“Apaan?”

Aku masih pura-pura tidak tahu maksud Didip dan fokus menatap ke arah televisi.

Buk!

“Anjir!”

Karena tak siap dengan gerakan Didip, Tas kura-kura ninja Didip yang kurasa berisi adonan beton proyeknya ini mendarat di atas perutku. Tas Didip mungkin bisa digunakan untuk jangkar kapar Fery sangking beratnya. Entahlah aku tak ingin tahu juga apa isi tas Didip, maka dari itu aku segera menyingkirkan tas Didip di dekat kakiku, serta melayangkan tatapan sinis ke arahnya.

“Surti lo jangan sok lupa gitu ... Lo udah janji kemaren.”

Kini tubuh Didip bergeser menutupi layar televisi di depanku. Aku tidak goyah begitu saja, begitu juga dengan Didip.

Saat aku menggerakkan kepalaku ke kanan, tubuh Didip ikut bergerak ke kanan. Saat kepalaku bergerak ke kiri, tubuh Didipun ikut bergerak ke kiri.

Aku kembali melirik ke arahnya dengan tatapan jengkel. Kurasa Didipun tak kalah jengkel denganku. Tangannya sudah bersedekap di depan dada, matanya menyipit dan bibirnya terkatup rapat.

Perang ini tak akan mudah, sebelum salah satu dari kami menyerah. Dan aku tidak mau menjadi pihak yang menyerah demi mengkhianati janjiku.

Baiklah aku tahu aku salah, tapi ini demi kebaikan semua orang. Sebagai seorang senior di bidang penakluk janda, mendapat nomor ponsel target tidak secara langsung pasti akan mengurangi nilai kejantanannya. Didip harusnya mengajak berkenalan serta meminta nomor mbak Khansa secara langsung, bukan lewat sepupunya seperti ini.

Anggap saja aku sedang menyelamatkan harga diri Didip sebagai seorang laki-laki pemberani.

"Dip gue ini lagi menyelamatkan harga diri lo sebagai pejantan tangguh."

"Maksud lo?" Satu alis Didip naik, tangannya masih bersedekap sambil menatapku dengan tatapan menyelidik.

"Ya masa lo gak mau minta nomor mbak Khansa sendiri, harus banget gitu dari gue? muka lo mau di taroh di mana Dip kalo pake cara kayak gitu? Harga diri laki-laki dinilai dari keberaniannya!" Ucap begitu dramatis seolah aku sedang membaca teks sumpah pemuda.

Didip tampaknya setuju dengan ucapanku. Kepalanya mengangguk-angguk."Boleh juga pembelaan lo..." salah satu tangannya kini menunjuk ke arahku. "Tapi ini janji lo Sur!"

Jawa-Jawa KotaМесто, где живут истории. Откройте их для себя