Bab 7

149 22 3
                                    

Lama banget yak ngilangnya... sampe aku sendiri lupa alurnya wkwk. Jangan lupa dukungannya ya😉

Hilangnya keberadaan Didip di sekitarku akhir-akhir ini, nyatanya membuat hidupku terasa begitu damai dan menuju ke arah membosankan. Sampai di minggu ketiga setelah terakhir kali aku mengiriminya pesan, Didip belum juga membalasnya. Batang hidungnyapun tak pernah nampak di rumah ataupun toko ibu. Ibupun sempat menanyakan keberadaan Didip padaku, dan sama seperti ibu aku pun tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Didip saat ini.

Yang pasti, sampai detik ini Didip masih bernapas karena belum ada undangan lelayu atas nama Adipati Manunggal Joyo di dalam grup keluarga.

Akupun mencoba menikmati kedamaian ini dengan sebaik-baiknya. Mungkin keabsenan Didip selama 3 minggu ini merupakan jawaban Tuhan akan salah satu do'aku, yaitu dijauhkan dari segala godaan syaiton yang terkutuk. Kalau kuingat kembali, hampir semua hal buruk yang kulakukan memang terjadi karena hasutan sepupuku itu.

Tapi setan kan hanya menghasut, manusianya sendiri yang sepenuhnya memutuskan.

Kedamaian yang kunikmati selama tiga minggu, malam ini malah mendapat sedikit gangguan suara berisik dari arah pagar rumah. Awalnya aku menduga mas Abi atau kedua orang tuakulah yang menimbulkan suara berisik tersebut. Namun lama kelamaan aku malah mendengar suara salam serta ketukan pintu.

Mungkin saja itu keluarga jauhku, tapi setahuku pagar rumah sudah kukunci dari dalam. Selain anggota keluarga di rumah ini, hanya keluarga buleklah yang mempunyai kunci cadangan pagar, itupun hanya satu saja. Tanpa ada kecurigaan lebih lanjut aku membawa tubuhku beranjak dari sofa ruang televisi menuju pintu untuk memastikan sosok sang tamu.

“Didip?”

Bukan sulap bukan sihir, sosok yang menghilang selama 3 minggu kini berdiri tegap di depanku. Mataku kontan menelisik penampilan Didip dari kepala hingga mata kaki. Aku sedikit terheran, Didip saat ini menggunakan pakaian yang sangat bertolak belakang dengan kepribadiannya.

Baju koko panjang berwarna putih, dengan celana kain yang sedikit longgar menempel di tubuh penuh dosa itu.

Tunggu? ini belum lebarankan?

Seingatku Didip hanya akan menggunakan baju koko saat lebaran saja, itupun karena dipaksa oleh ibunya.

“Assalamualaikum mbak Keken.”

Mataku kini beralih dengan sosok di belakang Didip yang baru saja memberikan salam padaku. Mataku membola ketika melihat sosok itu, sangking tidak percayanya aku bahkan menggosok mataku berkali-kali untuk memastikan kembali bahwa apa yang aku lihat saat ini nyata adanya.

Mbak khansa berdiri sembari tersenyum ramah menatapku yang kini menatapnya seperti orang bodoh. Belum lagi satu sosok yang berdiri di samping mbak Khansa. Perempuan muda yang sempat datang bersama mbak Khansa ke toko beberapa waktu lalu juga hadir di sini.

"Mbak?" tanya mbak Khansa dengan mengayunkan telapak tangannya di depanku.

Mataku mengerjap cepat begitu tersadar.“Eh... iya...Wa ... Waalaikum...salam.”

“Sur ini kita gak di bolehin masuk?”

Meski pertanyaan yang dilontarkan Didip sedikit menyindir, namun nada suaranya benar-benar halus. Telingaku yang tidak terbiasa mendengar nada suara semacam itu mendadak gatal.

Tapi yang pasti bukan nada suara Didip yang menjadi permasalahannya. Aku lebih penasaran dengan kebersamaan ketiga orang ini di rumah ku malam ini.

Tanpa berlama-lama lagi aku akhirnya mempersilahkan ketiga tamuku untuk masuk ke dalam ruang tamu. “Silahkan...silahkan.”

Jawa-Jawa KotaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora